Penelitian tentang neighborhood association, seperti rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT), di Indonesia masing jarang, terutama jika disangkutkan dengan bidang perencanaan. Satu-satunya penelitian yang bisa diakses tentang RT/RW secara komprehensif adalah "kampung and state", dari John Sullivan, yang umur penelitiannya sangat tua. Menurut Sullivan, kampung itu punya dua makna, yaitu kampung sebagai komunitas dan kampung sebagai bentuk administrasi. RT/RW itu sebenarnya kampung dalam bentuk administrasi. Makna ini cocok untuk konteks perkotaan. Kalau di perdesaan kita mengenalnya sebagai desa (rural village), di perkotaan kita kenal sebagai kampung (urban village). Kalau di desa kita kenalnya dusun, di kota kita kenalnya RW atau dulu dikenal dengan Rukun Kampung (RK). Desa-desa kecil di luar Jawa banyak yang memakai nama RK daripada dusun. Lalu, kalau di desa kita kenalnya dukuh, di kota kita kenalnya RT. Kemungkinan nama desa, dusun, dukuh itu sebenarnya hanya ada di masyarakat pulau Jawa saja karena bentuk itu berakar dari sistem kerajaan yang digunakan di Jawa. Di Sulawesi Selatan setidaknya tidak ada istilah desa, dusun, dukuh, tetapi adalah adanya kampung.
RT/RW sebenarnya bukan ciptaan Jepang, tetapi pada zaman pendudukan Jepanglah nama kampung mulai diakui sebagai bentuk administrasi dari ‘kampong’. Nama resminya "tonarigumi" (neighborhood blocks), mengikuti sistem administratif komunitas di jepang pada saat itu. Hingga jaman kependudukan Jepang, kampung tidak pernah dikenal sebagai bentuk administratif, karena jika berbentuk administratif berarti memiliki political sense. Sementara oleh penguasa Indonesia sebelum Jepang, kampung selalu dianggap sebagai komunitas yang tidak memiliki political sense. Ini agak membingungkan, karena fungsi yang dipegang kampung dari dulu juga sudah memasukkan fungsi administratif. Bahkan, ini terjadi sejak jaman kampung pertama kali dibentuk pada jaman kerajaan-kerajaan dulu.
Jaman pendudukan Jepang itulah yang menjadi dasar peletakan fungsi kampong (kampung) sebagai bentuk administratif di Indonesia. Jepang mengesahkan fungsi administratif itu dalam rangka mempermudah mobilisasi penduduk untuk keperluan perang. Setelah Jepang kalah dan kita merdeka, kita mewarisi bentuk administrasi yang sudah dibentuk jepang. Mungkin lebih karena bentuknya yang sudah tersistematisasi dengan baik hingga ke desa-desa terpencil. Sejak jaman Jepang yang memfungsikan kampong-kampung itu sebagai bentuk administratif, fungsi komunitasnya menjadi "tersembunyi". RT/RW lebih dilihat sebagai "perpanjangan" tangan administrasi pemerintah, sehingga fungsi yang tampak jelas adalah sebagai salah satu produk brainwash-nya Orba. Akibatnya, masyarakat sekarang lebih menganggap RT/RW sebagai formalitas saja. Padahal, dulunya sebenarnya adalah entitas komunitas yang meskipun mempunyai fungsi membantu pemerintah, tetapi tidak disetir oleh pemerintah. Berbeda dengan yang kita ketahui sekarang, walaupun trend-nya sudah mulai berubah sejak reformasi. Sistem neighborhood kita agak susah kalau mau difungsikan seperti di negara-negara maju – misalnya seperti di Australia, di mana aspek pelayanan publik lokal di scale-up pada tingkat yang lebih tinggi dan neighborhood association berfungsi tidak lebih dari sekedar ‘homeowners association’. Hal ini dapat mengubah seluruh rantai sistem pelayanan publik kita. Selain itu, latar belakang kultural dan historisnya berbeda, sekalipun dengan Jepang yang dulu membangun sistem kita. Yang mungkin menarik untuk diamati adalah sistem machizukuri Jepang, dimana perencanaan ruang kota skala kecil dilakukan oleh komite masyarakatnya, lalu membangun partnership dengan pemerintah dan bisnis, mengelola, memelihara, dan seterusnya. Kompleksitasnya sudah seperti skala kota, padahal lingkupnya kecil, mungkin satu kelurahan (jadi komite masyarakat mirip seperti "pengurus kelurahan"). Kalau di Indonesia rapat kelurahan masih sibuk membicarakan program kelurahan, di Jepang rapat "kelurahan" sudah membicarakan investasi skala besar. Berhubung sistem kita cukup mirip dengan Jepang, bisa gak ya kelurahan di Indonesia belajar dari Jepang?
Kontributor: Kinoy, Arief, Agung '00
Editor: Delik