Saturday, 24 May 2008

Dea Paramita

Nama lengkap saya Dea Paramita Kusumaputri Supit (dulu untuk praktisnya suka disingkat Dea Paramita K.S). Saya biasa dipanggil dengan nama Dea. Kuliah di PL ITB mulai tahun 2000 bulan Agustus dan lulus Maret 2005. Aktivitas sekarang baru menjadi mahasiswa kembali. Minat saya seputar environmental issues, baru mulai mendalami maksudnya.

Saya tau milis ini dari Sari PL’00 ITB, yang sekarang sedang studi di Belanda. Senang bisa bergabung, mudah2an silaturahmi bisa jalan terus.

Saat ini baru menjalani program Master of Environmental Management and Development, di The Australian National University (ANU), Canberra, Australia. Deskripsi singkatnya program ini sangat terkait dengan kebijakan publik dan environmental issues in development. Belum bisa bercerita banyak tentang kelebihan dan kekurangan..mungkin nanti setelah beberapa bulan belajar. Lagipula sepertinya menuntut ilmu seharusnya tidak ada kekurangan yah.. ;) Pesan : silakan mengunjungi saya kalau lagi mampir ke Canberra.

Monday, 19 May 2008

RT/RW: Neighborhood association di Indonesia

Penelitian tentang neighborhood association, seperti rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT), di Indonesia masing jarang, terutama jika disangkutkan dengan bidang perencanaan. Satu-satunya penelitian yang bisa diakses tentang RT/RW secara komprehensif adalah "kampung and state", dari John Sullivan, yang umur penelitiannya sangat tua. Menurut Sullivan, kampung itu punya dua makna, yaitu kampung sebagai komunitas dan kampung sebagai bentuk administrasi. RT/RW itu sebenarnya kampung dalam bentuk administrasi. Makna ini cocok untuk konteks perkotaan. Kalau di perdesaan kita mengenalnya sebagai desa (rural village), di perkotaan kita kenal sebagai kampung (urban village). Kalau di desa kita kenalnya dusun, di kota kita kenalnya RW atau dulu dikenal dengan Rukun Kampung (RK). Desa-desa kecil di luar Jawa banyak yang memakai nama RK daripada dusun. Lalu, kalau di desa kita kenalnya dukuh, di kota kita kenalnya RT. Kemungkinan nama desa, dusun, dukuh itu sebenarnya hanya ada di masyarakat pulau Jawa saja karena bentuk itu berakar dari sistem kerajaan yang digunakan di Jawa. Di Sulawesi Selatan setidaknya tidak ada istilah desa, dusun, dukuh, tetapi adalah adanya kampung.

RT/RW sebenarnya bukan ciptaan Jepang, tetapi pada zaman pendudukan Jepanglah nama kampung mulai diakui sebagai bentuk administrasi dari ‘kampong’. Nama resminya "tonarigumi" (neighborhood blocks), mengikuti sistem administratif komunitas di jepang pada saat itu. Hingga jaman kependudukan Jepang, kampung tidak pernah dikenal sebagai bentuk administratif, karena jika berbentuk administratif berarti memiliki political sense. Sementara oleh penguasa Indonesia sebelum Jepang, kampung selalu dianggap sebagai komunitas yang tidak memiliki political sense. Ini agak membingungkan, karena fungsi yang dipegang kampung dari dulu juga sudah memasukkan fungsi administratif. Bahkan, ini terjadi sejak jaman kampung pertama kali dibentuk pada jaman kerajaan-kerajaan dulu.

Jaman pendudukan Jepang itulah yang menjadi dasar peletakan fungsi kampong (kampung) sebagai bentuk administratif di Indonesia. Jepang mengesahkan fungsi administratif itu dalam rangka mempermudah mobilisasi penduduk untuk keperluan perang. Setelah Jepang kalah dan kita merdeka, kita mewarisi bentuk administrasi yang sudah dibentuk jepang. Mungkin lebih karena bentuknya yang sudah tersistematisasi dengan baik hingga ke desa-desa terpencil. Sejak jaman Jepang yang memfungsikan kampong-kampung itu sebagai bentuk administratif, fungsi komunitasnya menjadi "tersembunyi". RT/RW lebih dilihat sebagai "perpanjangan" tangan administrasi pemerintah, sehingga fungsi yang tampak jelas adalah sebagai salah satu produk brainwash-nya Orba. Akibatnya, masyarakat sekarang lebih menganggap RT/RW sebagai formalitas saja. Padahal, dulunya sebenarnya adalah entitas komunitas yang meskipun mempunyai fungsi membantu pemerintah, tetapi tidak disetir oleh pemerintah. Berbeda dengan yang kita ketahui sekarang, walaupun trend-nya sudah mulai berubah sejak reformasi.

Sistem neighborhood kita agak susah kalau mau difungsikan seperti di negara-negara maju – misalnya seperti di Australia, di mana aspek pelayanan publik lokal di scale-up pada tingkat yang lebih tinggi dan neighborhood association berfungsi tidak lebih dari sekedar ‘homeowners association’. Hal ini dapat mengubah seluruh rantai sistem pelayanan publik kita. Selain itu, latar belakang kultural dan historisnya berbeda, sekalipun dengan Jepang yang dulu membangun sistem kita. Yang mungkin menarik untuk diamati adalah sistem machizukuri Jepang, dimana perencanaan ruang kota skala kecil dilakukan oleh komite masyarakatnya, lalu membangun partnership dengan pemerintah dan bisnis, mengelola, memelihara, dan seterusnya. Kompleksitasnya sudah seperti skala kota, padahal lingkupnya kecil, mungkin satu kelurahan (jadi komite masyarakat mirip seperti "pengurus kelurahan"). Kalau di Indonesia rapat kelurahan masih sibuk membicarakan program kelurahan, di Jepang rapat "kelurahan" sudah membicarakan investasi skala besar. Berhubung sistem kita cukup mirip dengan Jepang, bisa gak ya kelurahan di Indonesia belajar dari Jepang?

Kontributor: Kinoy, Arief, Agung '00

Editor: Delik