Wednesday 23 April 2008

Social experiment method

Pengertian

Eksperimen bermaksud mengamati hubungan antara X dan Y (bisa juga lebih dari dua variabel. Misalnya sejauh mana X mempengaruhi Y, bagaimana X mempengaruhi Y. Cara melihatnya dengan melakukan percobaan (eksperimen), dimana variabel lain selain X dikontrol. Jadi kalau Y berubah, itu pasti karena perubahan pada X, bukan faktor-faktor lain.

Metode social experiment sangat menarik karena diturunkan dari metode eksperimen yang biasa dilakukan ilmuwan-ilmuwan ilmu pasti. Jika eksperimen di lab yang menjadi objeknya tikus, kelinci, tanah, dll. maka pada social experiment, yang menjadi objek percobaannya adalah manusia, makhluk sosial. Disebut sosial karena mungkin objeknya khas dan dinamis, bisa berbeda-beda di tiap lokasi, budaya, dan unik. Jadi, sebenarnya sama saja hanya objek (subjek) yang ditelitinya saja yang "sosial".

Tipologi dan aplikasi

Metode eksperimen dapat dibagi 3, menurut Bryman: Field experiment, laboratory experiment dan quasi-experiment.

a) field experiment ini sebenarnya yang pada umumnya digunakan oleh social researcher, di mana eksperimen dilakukan pada "real-life setting". Contohnya mau mengecek bagaimana pengaruh harapan orang lain pada seseorang bisa mempengaruhi perilaku keseharian orang itu. Misalnya, bagaimana harapan guru terhadap murid-murid tertentu yang dianggap pintar bisa berpengaruh terhadap nilai akademis mereka di kemudian hari. Maka si peneliti, secara acak, bisa memilih 10 murid di antara 50 murid sebagai sampelnya. 10 murid itu itu diberi label : anak jenius , dan hal ini disampaikan kepada sang guru. Lantas pada akhir tahun ajaran dicek, apakah nilai-nilai kesepuluh murid itu berbeda dengan nilai-nilai 40 murid lainnya? bila iya, maka bisa diidentifikasi hubungan kausalitas antara "harapan guru terhadap murid" (X variable) dan "nilai akademis murid tersebut" (Y variable). Dengan field experiment, hubungan kausalitas antara X dan Y bisa lebih dipastikan; dan ini dalam riset sosial disebut validitas internal.

b) Laboratory experiment, eksperimen tipe ini dilakukan di "laboratory setting", ruangan tertutup dengan intervensi dan manipulasi sebanyak mungkin yang diinginkan researcher. Contohnya melihat pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja, terhadap konsentrasi dan produktivias pekerja. Pekerja dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diberi suara bising, kelompok kedua tidak. Setelah itu mereka dites, dan dilihat hasilnya. Keacakan pemilihan sampel ke dalam grup-grup yang ditentukan harus dipelihara. Jadi misalnya ada 40 pekerja, dibagi 2 grup (ditempatkan di dua ruangan berbeda, satu bising dan satu tidak), pembagian 20-20 itu harus acak. Adapun pemilihan dua grup bertujuan untuk memperkuat validitas internal dari eksperimen tersebut. Dengan adanya grup yang tidak diberi kebisingan, maka hubungan kausalitas antara "kebisingan" dan produktivitas kerja dapat lebih terjamin, dibandingkan dengan hanya menggunakan satu grup saja. Dalam tipe B ini dapat dilihat bagaimana lingkungan di sekitar sampel dimanipulasi layaknya kondisi di laboratorium. Yang membedakan tipe a dan b adalah validitas ekologi. Pada tipe a, validitas ekologinya tinggi, sebab temuannya bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sementara tipe b hanya berlaku pada setting tertentu saja.

c) Quasi experiment; dalam eksperimen ini, prinsip keacakan ditinggalkan. Tipe c ini bermanfaat dalam menguji hasil penerapan sebuah kebijakan. Misalnya, pemerintah menaikkan harga BBM, dan ingin mengtahui efek kenaikan harga BBM tsb terhadap kesehatan PNS. Ada pun PNS yang akan dites ini diklasifikasikan ke dalam 3 grup: PNS yang berpendapatan rendah, menengah dan tinggi. Jadi PNS-PNS yang ada di pemerintahan tidak secara acak dibagi ke dalam 3 grup, melainkan dibagi berdasarkan pendapatan. Pada penelitian urban planning, untuk tipe C mungkin bisa berupa (misalnya) evaluasi dampak akibart dikeluarkannya UU Tata ruang yang baru terhadap keberadaan taman kota.

Kontributor: Agung '01, Sari, Adiwan, Kinoy
Editor: Delik

Thursday 3 April 2008

Tinggal di luar negeri dan kontribusi terhadap Indonesia

Berikut adalah kutipan-kutipan diskusi dengan topic “kontribusi terhadap Indonesia” selepas lulus dari pendidikan di luar negeri. Ada pun diskusi ini di-trigger oleh video lucu dari rekan-rekan mahasiswa di Groningen yang bisa diakses di YouTube.


Lantas, Delik (PL 2000) mengatakan bahwa video ini bagus diantaranya untuk mengingatkan kita-kita supaya tetap memegang teguh komitmen untuk berkontribus bagi bangsa. Diskusi di-trigger oleh pertanyan Oom Bobby =D (PL 95) berikut:


"ngingetin org2 yang lg di LN spy berkontribusi thd Indonesia. "....a very interesting statement. i have a question, kawan2 yang bergabung di milis ini setelah selesai dengan pendidikan, apa harus pulang, mau pulang atau tidak mau (berusaha tidak) pulang.


Mula-mulanya beragam variasi atas pertanyaan ini


Putri (PL 2001) :


Kalau saya sih tidak ada kewajiban untuk pulang (dari pemberi scholar nya).. Dan maunya pulang.. cuman kalo ada tawaran ditempat lain untuk masa depan yang lebih baik, kenapa enggak ;p

Arief M (PL 2001), dengan agak diplomatis menjawab:


Saya stuju dgn pidato Presiden SBY swaktu konferensi PPIA sluruh dunia d Sydney tahun kemaren. Mnurut bliau, boleh bekerja d luar negeri tetapi hrs inget dgn Indonesia. In other words, we don't leave our roots. Mdh2an dgn jalan hidup yg kita pilih, bs memberi kontribusi sendiri bagi negara kita.


"Berkontribusi" apakah sama dengan "pulang"?


Delik (PL 2000):


Pada dasarnya statement 'berkontribusi thd Indonesia' TIDAK SAMA DENGAN statement 'pulang ke Indonesia'. Pulang ke Indonesia mungkin cara yg paling konvensional, lbh transparan, lbh mudah diakui utk berkontribusi . Namun, berkontribusi maknanya bs jauh lbh besar dr itu. Dalam beberapa kasus, org yg berada di LN kontribusinya bs jauh lbh besar drpd org yg kembali (apalagi kalo pulang ke Indonesia berkontribusinya hanya pd penambahan beban negara & jumlah koruptor hehe...). Perihal ini, kita bs ambil contoh gmn para pelajar India berbondong2 sekolah ke luar, khususnya US (bener ga mas Bobby?).

Apalagi misalnya mas Bobby mempertanyakan perihal guna GIS utk planning di Indonesia. Pada sisi lain, saya juga msh mengamati perkembangan dunia akademis/penelitian di Indonesia. Karena selama ini sy berkarier ga jauh2 dr dunia tsb. Sayangnya perhatian pemerintah & masyarakat Indonesia thd penelitian & pendidikan msh sangat minim. Dr penelitian PBB, Indonesia dikategorikan salah satu yg terendah dlm proporsi budget utk sektor ini, sekelas dgn negara2 termiskin di Afrika, sedih : (. Sayang juga jika ilmu, keahlian yg begitu sulit didapat & sangat dihargai di luar Indonesia kita tinggalkan begitu saja sepulang ke Indonesia nanti. Tentu ini tidak bisa digeneralisir lho. Khusus ke-plano-an ini, mungkin utk dunia praktis yg agak geser ke bidang2 ekonomi, pembangunan, pemberdayaan tampaknya msh prospektif. Tp ga tau kalo bidang2 akademis, research, pure planning, planning technology, dsj.

Namun, jika memang tinggal di luar dlm kondisi tertentu bisa menjadi alternatif, lalu bagaimana mekanisme 'kontribusi' ini bs kita jalankan secara real/transparan/accountable, khususnya dalam jangka panjang & perspektif kolektif bangsa?


Networking sebagai solusi


Agung D (PL 2001):


sepakat dengan statement "berkontribusi" tidak sama dengan "pulang".
hanya saja, dalam konteks berpikir saya (mungkin rada kolot hehe), "transparansi/akuntabilitas" yang disampaikan Delik perlu usaha yang cukup banyak bila dilakukan dari luar negeri. Saya tidak menafikkan kelemahan2 yang banyak sekali ditemui di Indonesia terkait kultur dan dana riset; saya juga tidak menafikkan ketertinggalan bangsa kita di bidang teknologi, sehingga penerapan program2 GIS mungkin lajunya tidak secepat dibanding ketika dipakai di luar negeri. Cuma, 'keterikatan' dengan tanah air itulah yang harus dibangun di mana pun seorang warganegara tinggal.

Jadi kalau bayangan saya, mau di luar ataupun di dalam negeri, semua WNI yang berpendidikan tinggi bisa berpedoman pada platform yang sama. Misalnya isu pembangunan di Indonesia yang terkait keplanologian sekarang adalah penerapan GIS yang 'ga up to date'. planner2 yang menjadi praktisi GIS di LN mungkin bisa mensupply informasi kepada koleganya, sesama praktisi GIS, di Indonesia. Untuk kemudian yang di Indonesia ini mengembangkan sesuai konteks negara kita. Dalam hal ini, jaringan (network) menjadi penting untuk membuat "ikatan" yang saya kemukakan di atas. Sehingga masing2 tidak berjalan sendiri2, melainkan bekerjasama secara terorganisir untuk sedikit berkontribusi bagi tanah air.

Saut (PL 1996) menimpali:


setuju dengan pendapat Agung bahwa perlu ada keterikatan yang tetap tinggi terhadap tanah air, khususnya dalam konteks sumbangsih keilmuan yang disebutkan di atas.

utk praktisi GIS sendiri, sebenarnya RS-GIS Forum sudah cukup profesional dalam mewadahi diskusi-diskusi / berbagi keilmuan tentang GIS untuk kebutuhan indonesia. termasuk juga yang
perlu dicatat ketika tsunami terjadi di Aceh dan Gempa di Jogja, mereka melakukan kompilasi peta-peta dasar / tematik yang berguna buat kebutuhan mendesak pasca bencana di kedua tempat di atas. Pak RA (Roos Akbar) sendiri termasuk salah satu peserta di sana dan kadang2x memberikan kontribusi ketika ada pertanyaan terkait dengan tata ruang.

kelebihan forum yang saya sebutkan di atas adalah itu sudah menjadi lintas disiplin (geografi, geologi, planologi, geodesi, kehutanan, dll) dari para pengguna GIS dan juga tentunya lintas universitas. utk
bidang planning sendiri, saya belum ketemu forum serupa yang seaktif ini di Indonesia. mungkin ada yang tahu?


Adiwan (PL 2000):

Menanggapi email sebelumnya, saya ikut dalam forum tsb. Meskipun saya hanya ikut forum RS-GIS forum (jadi tidak ada perbandingan), saya kira milis dan forum ini sangat aktif. Benar yang dikatakan mas Saut bahwa di forum tsb sangat lengkap background membernya, ada geologi, geografi, geodesi, kehutanan, pertanian dll.silakan dicoba untuk membuktikan

menanggapi email Agung dan Delik, saya kira dinegara manapun kita berada, kita bisa tetap berkontribusi
untuk negara. yang penting kita memang niat dan mau aktif berkontribusi. Pernah ada teman dari jurusan
T.Penerbangan bilang bahwa dosennya yang alumni suatu univ di USA membawakan proyek bagi jurusan dan IPTN.

saya rasa dimanapun orang terdidik itu berada, tidak menjadi masalah.lagipula bagaimana dengan kasus
misalnya orang terdidik itu ahli dalam bioteknologi, sementara LIPI/Dept pertanian/lembaga eijkman atau perusahaan swastapun blm siap mengembangkannya khawatirnya ilmu yang didapat menguap begitu saja (dan ini sudah sangat umum saya lihat,,,).


Beberapa pelajaran yang bisa dipetik ...


Bobby (PL 95) :

terima kasih atas tanggapannya dari pertanyaan saya. sukur mendengar sudah tidak ada lagi pola pikir jaman orde baru Alm.H.M.Soeharto, yang kebanyakan sekolah tinggi2 di luar negeri (walaupun kebanyakan sekolahnya ga jelas mutunya!) hanya untuk pulang dan berharap jadi menteri.

kawan2 di milis ini kebanyakan tidak merasa harus pulang kecuali diharuskan oleh sponsor. pesan saya:...CARILAH PELUANG DAN COBALAH UNTUK BEKERJA DI LUAR INDONESIA. jurusan kita tercinta planologi, menurut saya adalah jurusan yang paling sedikit proporsi lulusan nya yang bekerja dan berkarir di luar indonesia. jangan jauh2 sama lulusan ilmu kebumian seperti tambang, minyak, dsb. yang keliatannya sangat gampang untuk dapat kerja di luar....kita kalah dengan tetangga dekat kita jurusan Arsitektur. Arsitektur itu mengirimkan seorang tukang tarik garis hampir setahun sekali ke sebuah perusahaan di Baltimore.

kenapa kita kalah? saya pribadi beranggapan karena kita itu terlalu di nina bobokkan untuk menjadi policy maker ketimbang betul2 mengerti masalah teknis. teknis tidak harus murni perencanaan fisik ya. kalo memang sesumbarnya kita itu mau menjadi PT kelas dunia, artinya jurusan PL kita pun harus siap mencetak planners yang bisa ditarik bekerja di luar indonesia. ga jaman nya lagi lah kayak Alm bapakku yang kerja PNS 30 tahun punya anak 4 terus pensiun pangkat 4 E. that is a good life....but it aint my life!

intinya...kalo saya pribadi tidak terlalu muluk mau kontribusi GIS ke indonesia...yang saya inginkan bagaimana saya pribadi bisa bantu kawan2 yang berkeinginan untuk datang ke amerika, sekolah dan bekerja disini. i am not planning to change the planning world...i'm just planning to plan my life.


Agung D (PL 2001)


om Bobby ,wow, straightforward hehe
siip deh mas, saya dukung usahanya untuk meng-encourage rekan2 pl itb untuk melanglangbuana
ide yang bagus
banyak yang kerja di luar, banyak hal2 baru yang bisa diupdate

saya jadi terbuka wawasannya dengan pendapat mas Bobby
saya pribadi masih dalam kebimbangan untuk memutuskan langkah selanjutnya setelah master ini
hehe, kebiasaan "let it flow"..
yang jelas, saya yakin dengan banyaknya alumni pl di luar negeri, bisa mempersolid jaringan dan juga memperlancar arus informasi
seperti yang kita lakukan sekarang

Bobby (PL 95)

terima kasih. Insya Allah semakin banyak armada jacket maroon kita yang bisa berkarya di luar Indonesia. om agung betul sekali, semakin banyak kita di luar, semakin flavor yang bisa kita tawarkan. saya pribadi mencoba berkontribusi sebisanya. ditunggu langkah selanjutnya setelah master. "let it flow" itu banyak makan umur...jadi hati2...hahaha


Agung D (PL 2001)


o ya, sekalian mau nambahin
kemarin saya dapet cara pandang baru tentang kontribusi bagi indonesia
kalau lihat india, dia punya dignity yang tinggi, bahkan dalam berhubungan dengan amerika sekali pun

cerita punya cerita
waktu musibah tsunami kemarin, rencananya Bill Clinton sebagai duta amerika mau nyambangin wilayah India yang terkena tsunami sekaligus mau ngasih bantuan
lucunya, nih duta pada akhirnya "dikurung" di New Delhi aja, n ga boleh dateng ke wilayah yang terkena tsunami
katanya India mencium ada udang di balik batu dalam bantuan amerika itu. jadi, daripada ujung2nya India disuruh nurut2 sama amerika, mereka pilih ga terima sumbangannya

kok berani ya India? hehe, saya ga punya data statistiknya... cuma denger2 lagi, sarjana india banyak yang ngantor di sillicon valley. SO, kalau pemerintah India mau narik sarjana-sarjananya, bisa jadi dampaknya cukup besar bagi amerika

Dalam konteks ini, harga diri sebuah bangsa juga bisa dibantu dengan mendunianya kualitas sarjana2 bangsa tersebut. Jadi saya kasih "compliment" buat pendapat mas bobby. Cumaa, dengan syarat... sarjana2 Indonesia memiliki keterikatan kuat dengan tanah airnya.


Resume


Secara umum, pelajaran yang bisa dipetik dari diskusi ini adalah: tidaklah penting apakah kita berada di Indonesia atau pun di luar negeri, selama kita masih bisa membuktikan kontribusi kita bagi tanah air, maka bekerjalah di mana pun kita bisa. Kita mafhum akan adanya keterbatasan pemerintah kita dalam hal riset, di sisi lain kita juga tidak mau kemampuan kita yang sudah susah payah didapat dari studi di luar negeri meguap begitu saja. Kompromi dapat dilakukan dengan membangun jaringan yang berisi ahli-ahli sebuah bidang ilmu lintas negara; misalnya praktisi GIS Indonesia yang tersebar di beberapa negara membentuk milis RS-GIS Forum. Untuk bidang2 keilmuan lain, diharapkan “networking” seperti ini juga segera dimulai. Ada komentar dari pembaca?

Editor: Agung '01

Wednesday 2 April 2008

GIS: Beyond traditional planning tools

Cara mendalami GIS secara lebih intens

AgungWah : 'Saya tertarik jg bidang GIS, dan ingin mendalami systems developer jg, mas punya saran buku utk dibaca atau web2 yg bisa digunakan utk bahan pelajaran (dasar) ngga?'

Adiwan: '... bisa coba baca “GIS a computing perspective” by Michael Worboys untuk dasar2 GIS computing (database, internet GIS, dan logika GIS) Pro Oracle Spatial (Buku tentang spasial database punya Oracle). ini perlu kalau mau jadi developer Oracle Spatial '.

Bobby: 'kalo untuk research saya kurang tahu programming language apa yang dipake. kalo untuk industri, VB.NET/ C# udah cukup. tapi platform nya ESRI. UC Santa Barbara itu mereka punya software GIS yang mereka bikin sendiri, karena ESRI mereka anggap kurang robust untuk kebutuhan research mereka...'

Mainstream GIS

Bobby: 'GIS itu dari perspektif saya bisa dibagi 2: (professional perspective)
1. Sebagai alat analisis.
2. Sebagai sebuah sistem.
nah, agung itu sekarang mau konsen nya kemana? mau jadi GIS Technician/Analyst atau Developer? kalo developer pun masih bisa dibagi dua lagi application development atau database development.
analyst: harus punya background seperti city planning/public policy/geography. jadi GIS itu murni dipake sebagai alat analisis. harus punya background di statistik (spatial and non-spatial statistic).
application development: harus punya background programming language (.Net and/or Java). untuk ESRI software kalo mau jadi application developer bisa coba diliat ArcObjects COM di www.esri.com. web development silakan check untuk ESRI ActiveX Connector.
database development: Oracle, SQL Server yang terkait dengan SDE/Oracle Spatial'.

AgungWah: 'Memang saya tidak bisa begitu saja meninggalkan latar belakang pendidikan S1 plano dan S2 agriculture ini, jd most probably kalau dalam klasifikasi mas Bobby, saya adalah orang yg interest sebagai GIS sebagai pengguna alias GIS Analyst. Tp kalau melihat perkembangannya (dan termasuk baca2 di jurnal GIS) kenapa ya orang2 yg dlm kategori "developer" itu malah berkembang lebih cepat yah?? mksd saya mereka seperti tahu masalah dan mengerti bagaimana memecahkan masalah itu,,,persis seperti cita2 seorang "engineer" bukan??.
Saya melihat, permasalahan2 yg berkembang baik di dunia on-plano khususnya, maupun off-plano menuntut pengguna2 GIS tidak hanya sebagai "analyst" saja, tp jg developer?? bener ga nih?? ini jg termasuk bidang2 pekerjaan dan PhD2 yg ditawarkan,, seperti nya menuntut "tidak hanya analyst"...'

Bobby : 'benar sekali. karena backgound kita itu planning kita makanya harus jadi analyst dulu. bagus kalo agung mulai sadar dan tertarik dengan aspek application development. lebih bagus lagi kalo agung bisa bikin model spatial statistics yang robust, kemudian bisa dipake untuk model simulation. nah disitu baru butuh application development untuk run model'.

Adiwan : 'Untuk Mas Bobby, saya masih belum terbayang jadi GIS developer itu main tasknya apa ya? memproduksi system GIS dengan spec tertentu untuk client yang berbeda2? base softwarenya apa, ArcGIS, MapInfo, Oracle atau?
Dari pengalaman, saya rasa GIS itu sangat powerful menjawab tantangan dalam dunia perencanaan. Pertanyaan saya adalah, GIS developer itu punya main task apa? apakah membuat sistem GIS yang powerful sesuai kebutuhan client?

Bobby : 'main task dari GIS Developer itu membangun tools sesuai dengan permintaan client (jadi Adiwan benar). contoh nyata:
client kami FEMA mau menstandarisasi seluruh flood mapping di America (50 states). karena semua peta itu mau distandarisasi, tentu dibutuhkan seperangkat alat/tools yang tinggal ditekan tombol, jadi peta yang sesuai dengan standard FEMA. nah untuk itu, dibutuhkan tenaga GIS Developer untuk membangun tools yang mampu men summarize berbagai sumber peta untuk menghasilkan seperangkat FEMA standard map.
Silakan coba link ini ... atau ketik di google DFIRM TOOLS. ada flash video nya di bagian kanan. my job is to build, maintain and enhance those tools'.

Issue in GIS: Poor Data (base)

Bobby : 'i am writing this response to open your horizon. for us, city planners, GIS is no more than just a pretty map. GIS is more than that! Unfortunately we don’t have sufficient GIS database back home .... It is growing fast, much faster than the old city planning school of thought like top-down/bottom-up/collaborative planning, etc. However, I don’t know if you can actually find a job back home with this kindda expertise....at least I am still here'.

Adiwan : 'Betul seperti yang dikatakan mas Bobby, the problem to be a GIS profesional di Indonesia adalah spasial database yang masih sangat terbatas meskipun Bakosurtanal sudah mulai memproduksinya. Hal ini didorong oleh banyaknya negara donor setelah peristiwa tsunami Aceh 2004 yang datang ke Indonesia untuk membuat peta bumi yang terbaru. Jadi saya kira beberapa tahun ke depan spatial database kita akan lebih lengkap dari saat ini'.

Bobby : 'Syukur kalo semakin banyak negara donor yang memberikan dana untuk membangun peta bumi yang baru. tapi yang mereka bangun itu kesannya kok hanya peta fisik saja ya? GIS in planning itu kan kebanyakan menggunakan data2 populasi, traffic analysis zones, male/female, dsb. aku rasa data2 seperti itu kita ga punya. yang di amerika sini, data seperti itu bisa didown-load gratis dari TIGER Census'.

Adiwan: 'Saya kira biaya GIS advance yang tinggi menjadi persoalan mengapa sistem ini relatif lambat berkembang di Indonesia. Tapi setahu saya, Bakosurtanal sudah ikut serta dalam National Spatial Data Infrastructure (NSDI). dengan demikian, seharusnya data spatial antar provider yang berbeda sudah bukan masalah. Btw yang TIGER mas Bobby katakan, itu data social biasa atau data social yang sudah dimasukkan dalam spatial statistics? sangat menarik jika sudah berupa spatial statistics'.

Bobby : 'data tiger itu berbagai macam. karena sudah banting setir ke development, saya kurang ikuti perkembangannya. tapi dulu itu ada demography data, street data, etc. demography data is represented as a polygon (census tract or census blocks), the street data is represented by a polyline data (the street median). you can mix and match this data to perform 4-steps model (along with trip diary/travel demand data)...'.

Issue in GIS: Lack of Research

Bobby: '... plus I don’t think the professors who teach the classes in ITB, actually [really] understand [comprehensively] about this technology. It is growing fast, much faster than the old city planning school of thought like top-down/bottom-up/collaborative planning, etc. …..

AgungWah: 'oya, ttg koment mas yg bilang dosen gis di itb ga [tlalu ngikuti] perkembangan terakhir di GIS, ya mgkn di situlah celah kita utk mengisi gap itu,,, *hehe,,serem jg nih klo gw nglamar jd dosen itb trus ga uptodate*' .

Bobby: 'kekurangan dosen2 kita di ITB itu, mereka tidak intens menjalankan research sesuai dengan bidang nya terutama GIS, statistical analysis. masih teringat dulu [di ITB di kelas] statistik, kok kayaknya dipersulit? saya yang kalkulus I dapat A dan Kalkulus II dapat B, agak keropatan mengikutinya. tapi begitu diajarin Cervero di Berkeley, kok gampang amat ya? sangking gampangnya hampir juga ngambil mata kuliah di econometrics sama McFadden...sayangnya berbenturan sama kelas GIS. kenapa? karena cara pengajarannya itu bukan hanya teori, tapi langsung ke praktek gimana caranya dan bagaimana cara menginterpretasi dan mendebatnya. kalo di ITB itu ... cuma ngajar teori...'.

Editor: Agung '00

Tuesday 1 April 2008

From compact city to growth management

Diskusi berikut ini dipicu dari pertanyaan rekan Ghulam yang ingin mengkaji kemungkinan penerapan konsep compact city di Bandung Timur.

Definisi dan kriteria compact city

Agung Wah: '[untuk melihat] seberapa compact atau seberapa sprawl pola dan struktur tata ruang... bisa coba pake GIS terutama arcGIS... Sederhananya, di ArcGIS di Spatial Analyst tools ada fungsi DENSITY, nah kemaren saya nyoba utk buat density kepadatan bangunan, and it's quite ok. Hasil di petanya, adalah kepadatan "kawasan terbangun/luas area". Nah, [kita] langsung bisa klasifikasiin..., kepadatan yg seberapa yg [kita] mau utk disebut DENSE or MODERATELY DENSE etc. Dan kerennya, ini ga terbatas wilayah administratif, jd batasnya fungsional dan continue...

Delik: 'Compact city sbnrnya konsep yang tradisional kalo di Eropa. Kyknya secara praktek sudah diterapkan sejak jaman pertengahan (walled cities). Konsep dasarnya pembangunan keruangan kota yang efisien. Beberapa indikasi umum:
- pembangunan intensif. Bisa dibilang "musuhnya" sprawl.
- pemisahan yang tegas antara kota (terbangun) dan desa (tdk terbangun), dulu batasnya benteng, di jaman modern bisa green buffer atau sejenisnya.
- jarak perjalanan komuting yang pendek, atau meminimalisasi long distant daily travel. Di belanda dulu di desain jarak batas kota ke pusat kotanya tidak lebih dari 30 menit mengendarai sepeda'.

Saut: '... apakah kriteria "compact city" dihitung berdasarkan kepadatan dari bangunan-bangunan yang ada? Atau juga ditinjau sejauh mana infrastruktur2x juga tersedia secara merata? Misalnya adanya sistem pergerakan yang bagus (transportasi) sehingga mobilitas bisa tinggi? Sebagai contoh Osaka, adalah kota yang besar (padat), penduduk > 8 juta jiwa. Tapi kemacetan tidak ditemui di sana karena subway (sampe beberapa lapis), melingkari kota dan juga dari ujung timur - barat dan utara - selatan. Tapi tentu berbeda dengan Jakarta, walaupun padat, tp ketersediaan prasarana penunjang tidak mencukupi'.

Kritik terhadap compact city

Delik: 'Sbnrnya ide compact city sudah banyak dipersoalkan di berbagai artikel/buku, khususnya di Belanda sejak akhir 90an. Belanda sendiri yg terkenal sbg salah satu negara yg paling compact kota2nya sdh tdk menggunakan asas ini sbg filosofi utama kebijakan penataan ruang (krn juga menguatnya market, globalisasi, teknologi trans&kom dll)'.

Niken: '... compact city memiliki beberapa karakteristik seperti high density, mix-land-use, dan proximity. Soal kedekatan jarak, sebenarnya di jaman modern ini masih penting juga, karena warga kota diharapkan dapat melakukan pergerakan dengan jalan kaki atau naik sepeda. Memang dengan adanya teknologi, kita bisa menempuh jarak lebih jauh dengan waktu lebih minim. Tapi teknologi yang diutamakan adalah penggunaan mass-transportation, karena penggunaan kendaraan pribadi tentunya lebih boros energi.
Salah satu kelemahan dari konsep compact city ini adalah ia memang mengurangi jarak dan energi yang dibutuhkan untuk pergerakan horisontal, namun justru meningkatkan pergerakan vertikal seperti lift, eskalator, dll. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan konsep 'hemat energi' yang dituju.
Ada juga yang mengkritik melalui fenomena urban heat, atau suhu panas yang ditimbulkan oleh kumpulan gedung2 tinggi tersebut. Maaf, berhubung saya belajarnya di bidang environment, jadi hampir setiap konsep perencanaan selalu dihubungkan dengan penghematan energi dan global warming, dst.
Selain itu, kemampuan sebuah area untuk menampung dan menyediakan basic service bagi penduduk dengan kepadatan tinggi tentunya seringkali menjadi masalah tersendiri, terutama di negara berkembang'.

AgungMah: 'bila memang demikian adanya dengan konsep "compact city", maka rasanya itu sudah usang sebab, benar apa yang disampaikan Delik, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi membuat jarak menjadi "meaningless" benar juga yang disampaikan Niken tentang mobilitas yang tinggi secara vertikal. Dalam era "competitiveness" sekarang ini, batas antar wilayah menjadi tidak jelas ambil contoh Amsterdam di Belanda saja Amsterdam itu join di sekurang2nya 2 grup metropolitan besar Amsterdam Metropolitan Area (Amsterdam dan kota2 sekitarnya) dan Randstad (Amsterdam, Utrecht, Rotterdam dan Den Haag) belum lagi skala eropah, amsterdam juga bergabung dengan beberapa jaringan kota2 besar ini dengan tujuan untuk meningkatkan kompetisi dan membangun imej baru kota yang pada akhirnya, berusaha "menangkap" kapital2 asing untuk masuk ke dalam kota.
... kembali ke pertanyaan ... menerapkan "compact city" di bandung timur kemungkinan besar untuk mengurangi kemacetan ... mungkin lebih baik ... diarahkan ke perbaikan sarana transportasi publik sebab membatas2i bagian kota dengan ide "compact city" sudah tidak mungkin lagi sepertinya karena batas itu kian lama kian permeable, dan "commuting" adalah hal yang jamak menjadi tidak jamak, ketika kemacetan yang ditimbulkannya bikin orang2 stress '.

Studi Banding

Saut: '... mengacu dari definisi / konsep yang disebutkan Delik tsb sebagian besar bisa ditemui pada kota2x di Belanda. Terutama bukan kota-kota besarnya.
Tp definisi intensif yang disebutkan sempat membuat saya berpikir dalam konteks kepadatan pemanfaatan ruangnya. Di Belanda, sekalipun padat (banyak apartement sehingga dengan lahan yg sedikit banyak yg bs ditampung. Selain itu sistem zoning di dalam kotanya jelas. Hasilnya ruang terbuka, taman, jalur2x hijau, pedestrian tersedia dengan luas dan nyaman.
Sedikit berbagi tentang kondisi di Jepang, walaupun lahannya lebih luas daripada Belanda (kira-kira seluas Sumatera), ruang terbuka tidak tersedia begitu banyak seperti di Belanda. Alasannya karena sebagian besar topografi di Jepang adalah pegunungan / perbukitan. Karena itu di kota, pemanfaatannya begitu intensif. Selain itu pola perumahan di sini (Osaka dan Kyoto) masih sebagian besar penduduk tinggal di rumah - satu atau dua lantai. Mungkin itu terkait dengan kebiasaan masyarakat yang tinggal dalam satu family, jadi lebih memilih rumah dibanding apartment. Tp daerah perbukitan / pegunungan di"bebaskan" dari pemanfaatan. Tidak seperti di daerah Bopunjur, banyak villa ditemukan di "slope" yg terjal, di Jepang daerah perbukitannya hijau dan menjadi konservasi, atau paling tidak hanya menjadi tempat di mana kuil2x Budha / Shinto berada.
Tambahan lain, ruang terbuka yang tersedia juga, banyak ditemukan di sepanjang sungai.
Alasan lainnya mungkin kenapa tidak banyak ruang terbuka yang luas jg karena sistem kota di sini tidak seperti di Eropa, dimana terdapat satu areal yg luas yg didedikasikan sebagai "centrum / zentrum".
Dari segi transportasi sendiri, didominasi dengan penggunaan subway (train / metro), sehingga walaupun padat, tidak menjadi masalah utk mobilitas. Jarak 30' yang disebutkan utk naik sepeda seperti di Belanda bs ditempuh dari luar kota ke dalam kota. Seperti saya saat ini tinggal di kota Uji (bukan Kyoto), tp ke Kyoto, sekitar 45' bisa...'.

Delik: '... Ga cuma di Jepang, di Eropa juga kok (termasuk Belanda). Bahwa jarak perjalanan 30 mnt pd th 1900 beda dgn sekarang. Di belanda jg sama di daerah konurbasi-nya (Amsterdam-rotterdam-den haag) transport utama bukan lg sepeda, tetapi subway. Jadi perkembangan inovasi/teknologi di bidang transport (& komunikasi) memang telah menjadi salah satu kunci kritik thd konsep compact city. Bahwa efisiensi tdk hanya bs dilihat dr jarak fisik, sekarang elemen waktu lbh penting drpd sekedar jrk fisik, dst.

Niken: '... buku teks untuk Compact City di negara berkembang yang cukup populer dan standar adalah Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing Countries (Mike Jenks & Rod Burgess, 2000). Isinya adalah kompilasi tulisan2 tentang penerapan Compact City di kota-kota besar di negara berkembang...'.

Compact city, compact development, atau growth management/smart growth?

Adiwan: '... kalau tidak salah, compact city itu konsep kota yang semuanya dalam areal yang sama, mungkin contohnya Suntec city di Singapur(apartment, kantor, shopping dalam satu tempat yang sama) atau Mall Taman Anggrek atau mungkin juga kota benteng seperti yang delik katakan.
sedangkan perkotaan di Jepang atau eropa apakah bisa dibilang compact city? bukankah kota memang spt itu, antara kota satelit dgn kota utama memang 1/2 jam-2 jam karena untuk kommuting. contohnya tanggerang-jakarta 1 jam, kabupaten bandung-kota bandung 1/2 jam, croydon-melbourne 1,5 jam. katanya New Jersey-New York juga segitu...'.

Saut: '... Artinya dalam satu tempat yang sama (bangunan), terdapat multifungsi dimana kegiatannya saling terkait, misalnya pusat belanja, kantor, apartemen, (pendidikan?), hiburan, dll.
Nah apakah ini "modern compact city"?
Tadi tanggapan saya tentang kota-kota di Jepang sebagai contoh, adalah bila kategori yang dinilai adalah "kepadatan". Mengenai Belanda, karakteristik kota2x di sana sebagian besar seperti yang disebutkan Delik. Karena itu hampir semua orang memiliki sepeda, karena sepeda adalah moda transportasi yang dipakai utk ke kantor, belanja, jalan2x. Jadi bisa dibayangkan berapa besar kotanya jika dalam waktu 30' bs ditempuh dengan sepeda bukan. Tp di Rotterdam dan Amsterdam dimana kotanya besar / metropolitan biasanya menggunakan bus / tram / metro. Jadi kalaupun sepeda digunakan di kedua kota besar di atas, biasanya sepeda portable (dilipat dan dibawa2x)'.

Delik: 'Meski filosofinya (efisiensi dst) mungkin mirip, compact city berbeda makna dengan compact development (yg dicontohkan Adiwan). Setidaknya mungkin berbeda pd level keruangannya. Kalo compact devt cenderung pd skala area/zone dlm kota, kalo compact city pd skala kota scr keseluruhan. Sementara isu2 yg kawan2 sebutkan (transport dsb) berkonsekuensi konsep perkotaan pd skala lbh tinggi, yaitu wilayah/metropolitan, dan memang yg terakhir ini sy pikir sekarang lg hangat kyknya'.

Bobby: 'compact city itu ada perlu nya juga walaupun batas semakin tidak nyata karena perkembangan 3T (transportation, telecommunication and technology). tapi dengan adanya "doktrin" sustainable development, bentuk kota itu diharapkan tidak mubazir membangun ruang hanya untuk jalan, tempat parkir, dll. mixed land-use , high-rise development dianggap sebagai salah satu solusi. saya pernah mendengar Portland, OR banyak dijadikan contoh negara2 maju. tapi ya konsekuensi logisnya: harga tanah/rumah itu jadi mahal.
atau mungkin yang saya bayangkan ini bukan compact city? atau mungkin SMART GROWTH?'

Delik: 'Iya, di US "doktrin" yg dimaksud Bobby tsb akhir2 ini terkenal dgn panggilan "new urbanism".
Smart Growth itu salah satu bentuk Growth Management, dari US jg. Selain Portland, yg biasa jd contoh kalo ga salah Seattle. Mungkin maksudnya sama2 aja, cm kalo compact city khas-nya Eropa. Beberapa perbedaan diantaranya compact city berdimensi kuatnya long-term (cenderung top down) planning, kalo smart growth lbh ke urban management pd level lokal dan regional (jg kadang state). utk yg terakhir, sy inget bukunya Cullingworth (Planning in the USA)'.

Editor: Delik