Monday 28 July 2008

Riela Provi Drianda

Riela Provi Drianda, atau lebih akrab dipanggil Riela, terdaftar sebagai alumnus S1 PL ITB angkatan 2000. Saat ini Riela sedang menyusun tesis master di bawah bimbingan Prof. Isami Kinoshita, kepala laboratorium Perencanaan dan Manajemen Lansekap, Universitas Chiba yang juga merupakan koordinator umum Proyek Growing Up in Cities-UNESCO Jepang. Kesuksesan sekumpulan anak di wilayah Setagaya-Jepang untuk menuntut ruang publik yang lebih layak, yang kemudian diwujudkan dalam proses perancangan Taman Tanuki- dimana anak-anak berpartisipasi aktif sebagai perencana, arsitektur, dan mandornya- telah menginspirasi Riela untuk terus mendalami riset mengenai kota ramah anak, atau di Indonesia lebih terkenal sebagai kota layak anak. Berbagai tulisan ringan seputar riset dan kehidupan di negeri Jepang telah dituangkannya di sini.

Disponsori beasiswa Monbukagakusho, pada tahun 2006, Riela mendapatkan kesempatan untuk menjadi mahasiswa peneliti di Fakultas Hortikultur, Universitas Chiba dengan wilayah pengamatan studi Setagaya-Tokyo. Setahun kemudian, Riela mengikuti program studi master di universitas yang sama. Topik penelitian pada tahun 2007 adalah mengenai evaluasi ruang perkotaan oleh anak-anak, studi kasus wilayah Kita-Kogane, Chiba. Tahun ini, topik penelitian lebih terfokus pada bagaimana menunjang anak-anak untuk bermain dan beraktivitas dengan aman dan nyaman di ruang perkotaan.

Satu-satunya kendala untuk mengenyam studi program master di universitas ini terkait dengan penggunaan bahasa pengantar. Satu tahun pertama akan menjadi saat-saat yang membingungkan untuk beradaptasi dengan atmosfir kuliah yang sangat kaku dan tentu saja konten mata kuliah maupun penjelasan di seminar yang tidak bisa dimengerti oleh seseorang dengan level kemampuan bahasa Jepang yang rendah. Tahun kedua, mungkin akan lebih rileks mengingat studi akan lebih terfokus ke riset bukan ke mata kuliah dan tesis boleh ditulis dalam bahasa Inggris. Namun, untuk program doktor, dibuka kelas-kelas internasional dengan bahasa pengantar Inggris dan tentu saja kemampuan bahasa Jepang level lanjut tidak mutlak harus dimiliki oleh calon mahasiswa.

Riela berharap milis plitb-abroad mampu menjadi ajang yang baik untuk mengembangkan jejaring dan tentu saja teman seperjuangan untuk menciptakan lingkungan kota yang semakin ramah anak.

Memilih jenis program studi (2nd ed)

Seringkali mahasiswa terjebak mengambil suatu program bukan karena ketidakcocokan disiplin keilmuan, tapi lebih kepada kesalahan dalam memilih jenis program itu sendiri. Misalnya seorang praktisi mengambil program master by research atau master research, atau seorang akademisi mengambil program master professional.

Program pasca sarjana (graduate) secara umum biasanya dibagi dalam 2 jenis, "by research" dan "by course". Program studi by research beban studinya lebih banyak pada pengerjaan penelitian daripada kuliah di kelas. Jadi, dari awal sudah mulai mengajukan proposal tesis dan mulai mengerjakan penelitian. Mahasiswa by research biasanya hanya perlu mengambil beberapa kuliah saja. Bahkan, di beberapa universitas tidak perlu mengambil kuliah sama sekali. Sementara itu, pada program studi by course, mahasiswa perlu mengambil banyak mata kuliah. Hanya periode/semester terakhir biasanya digunakan untuk pengerjaan proyek akhir atau tesis. Untuk S2, di Amerika Utara hanya ada program by course. Untuk S3, Amerika Utara lebih terkenal dengan sistem by course-nya, sementara Eropa lebih terkenal dengan S3 by research-nya.

Kasus di salah satu universitas ternama di Malaysia

Salah satu implikasi dari perbedaan jenis program adalah pengurusan administrasi sidang. Di salah satu universitas ternama di Malaysia misalnya, untuk tesis pada program by course, pengurusan sidangnya cukup dilakukan pada tingkat jurusan/departemen, pengujinya pun dosen-dosen jurusan yg bersangkutan. Akibatnya, proses sidangnya lebih cepat karena sidang biasanya dilakukan secara kolektif dan dilaksanakan secara reguler pada tiap akhir semester. Sementara tesis pada program by research, proses sidangnya diurus pada tingkat yang lebih tinggi, biasanya universitas. Komisi pengujinya terdiri dari orang-orang internal dan eksternal universitas bersangkutan. Karena diurus pada tingkat universitas, proses dari mulai penyerahan tesis hingga sidang itu biasanya lama sekali, minimal tiga bulan, malahan bisa lebih dari satu semester. Ini disebabkan komisi penguji harus dinominasikan, dirapatkan, dan dilantik terlebih dahulu oleh pihak universitas. Kalau sudah disetujui, barulah tesis dikirim ke komisi tersebut. Mereka dibagi waktu lebih dari satu bulan untuk membaca tesis dan mengirimkan laporan. Jika semua penguji sudah mengirimkan laporan ke universitas, barulah pihak universitas akan mengatur jadwal sidang.

Setelah sidang, biasanya akan ada perbaikan. Perbaikan ini harus diserahkan ke ketua komisi penguji. Kalau beliau menyetuji, tesis yang sudah diperbaiki tersebut dapat diserahkan ke pihak universitas. Yangg diserahkan tersebut biasanya masih berbentuk draft, belum boleh di-hardbound, karena masih harus menunggu rapat senat universitas untuk menentukan apakah tesis tersebut memang sudah layak untuk disahkan. Rapat senat tersebut sekalian juga meresmikan kelulusan, dan prosesnya bisa dua bulanan.

Sistem persidangan program by research ini biasanya menimbulkan ketidakefisienan bagi mahasiswa karena harus menunggu sidang selama 3-6 bulan dan menunggu keputusan senat hingga 2 bulan. Lebih menyusahkan terutama bagi mahasiswa internasional karena membuat mereka harus bolak-balik ke negara asal atau tinggal berbulan-bulan hanya menunggu. Universitas internasional mestinya bisa membuat sistem yg sedemikian rupa sehingga mahasiswa, pada saat pulang ke negaranya, segala urusan kuliahnya sudah tuntas hingga lulus, tidak perlu bolak-balik lagi. Hal ini disebabkan kebanyakan mahasiswa pasca sarjana biasanya sudah memiliki perkerjaan tetap di negaranya masing-masing sehingga sulit untuk diminta tinggal berlama-lama hanya untuk menunggu sidang, nunggu rapat senat, dsb.

Perbandingan di negara-negara lain

Di Eropa kontinental dan Inggris, pendidikan pasca sarjana, khususnya S3, sejarahnya cukup panjang, berawal dari masa Yunani Kuno ketika murid-murid menimba ilmu ke Plato. Mereka yang ingin diakui sebagai scholar harus menulis buku. Hal ini menjadi dasar pendidikan S3 di Eropa yang by (pure) research dikenal sebagai big book style. Bedanya Eropa kontinental dengan Inggris adalah bahwa di kontinen hasil akhir berupa tesis dianggap sudah jadi, sidang cenderung hanya ceremonial atau untuk menguji kemampuan mahasiswa seperti yg tertuang dalam tesis. Oleh sebab itu, setelah sidang tidak dilakukan perbaikan tesis lagi. Ketika mahasiswa maju sidang dengan sendirinya tesisnya sudah dianggap memenuhi syarat. Jarang sekali ada mahasiswa yang gagal sidang. Berbeda dengan Inggris yg sidang/ viva merupakan tes terhadap isi tesis itu sendiri, kadangkala mahasiswa bisa tidak lulus dan biasanya selalu ada perbaikan tesis setelah sidang. Kelihatannya Malaysia (dan mungkin Indonesia) masih kental mengikuti gaya Inggris (dan mungkin Amerika).

Pada dasarnya, secara 'hirarkis', S2 by research di Eropa posisinya seperti di antara S2 by course dan S3. Namun secara prosedural akademis, di berbagai universitas S2 by research seringkali disejajarkan dengan S3, yaitu sama-sama berada dalam naungan Graduate School. Sebagai implikasinya, berbagai substansi dan standar lebih menyesuaikan dengan S3, seperti menekankan pentingnya research courses/training, publishing/writing. Graduate School biasanya memiliki program-program pelatihan – seperti bahasa, menulis akademis, IT, metode penelitian, dll – untuk meningkatkan kemampuan meneliti para mahasiswa. Namun, mengenai jadwal sidang biasanya sudah ditetapkan. Dan sidang tidak seperti sidang S3 yang terbuka untuk umum, melainkan hanya dengan dosen pembimbing dan dosen tamu dari universitas lain; dan sifatnya tertutup. Keuntungannya, program S2 by research, bisa diteruskan, digabungkan atau ditingkatkan menjadi S3, sehingga S3-nya dapat diselesaikan dengan periode yang relatif lebih cepat, hanya 3 tahun atau kurang.

Khusus untuk program-program by course, di berbagai universitas di Amerika Utara dan Eropa masih terbagi lagi antara program research dan professional, terutama untuk tingkat master. Program master research dirancang untuk menjadi akademisi atau peneliti, sedangkan program master professional lebih aplikatif sehingga lebih cocok untuk para praktisi. Program master research pada periode akhir diharuskan menyusun tesis, sedangkan program master professional menyusun laporan/proyek akhir.

Kasus-kasus yang dikemukakan di atas belum sepenuhnya dapat dijadikan acuan spesifik, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan program-program studi yang dirancang di berbagai universitas di berbagai belahan dunia.

Kontributor: Vini, Eko'90, Agung’01, Adiwan, Bobby, Delik

Editor: Delik