Friday, 12 December 2008

Profil Vini Indriasari

Saya Vini Indriasari, alumni PL ITB angkatan 97. Sejak Desember 2006 saya melanjutkan kuliah program master bidang GIS & Geomatic Engineering di Universiti Putra Malaysia (UPM), Serdang, Selangor. Saya mengambil jalur by research dimana mahasiswa telah melakukan riset sejak semester pertama. Buat saya, kuliah jalur by research ini sangat menyenangkan karena kita bebas memilih matakuliah yang kita minati atau diperlukan untuk mendukung riset kita. Di kuliah ini saya belajar GIS, Remote Sensing, Digital Image Processing, GPS dan Spatial Statistics.

Riset saya merupakan perpaduan GIS dan Location Science. Location Science berkaitan dengan optimasi penempatan lokasi-lokasi fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) sedemikian rupa sehingga mencapai satu atau lebih fungsi tujuan. Proses optimasinya menggunakan algoritma-algoritma optimisasi seperti Genetic Algorithm, Tabu Search dan Simulated Annealing. Oleh sebab itu riset tentang Location Science juga memerlukan pemahaman tentang Operations Research / Management Science. Dalam riset saya, fungsi tujuannya adalah memaksimalkan luas kawasan yg dapat dijangkau oleh sejumlah fasilitas darurat (pemadam kebakaran, ambulans, pos polisi) dalam masa perjalanan tertentu. Kawasan masa perjalanan fasilitas darurat ini dihitung berdasarkan geometri dan atribut jaringan jalan melalui network analysis di GIS. Alhamdulillah, bulan November 2007, riset saya mendapatkan medali perunggu dalam Exhibition of Invention, Research and Innovation yg diselenggarakan tahunan di UPM. Pada bulan Oktober 2008, saya berhasil membuat paper riset saya diterima utk dipublikasikan di International Journal of Geographical Information Science, dan akan muncul dalam edisi akhir tahun 2009.

Studi saya di UPM disponsori oleh salah satu skema beasiswa yg tersedia di universitas tersebut, yaitu Graduate Research Fellowship (GRF). Fellowship ini mencakup tuition fee dan monthly stipend. Sebagai graduate fellow, saya diwajibkan mengajar selama 4 jam seminggu. Sejauh ini saya sudah pernah menjadi demonstrator lab kepada undergraduate student untuk matakuliah IT and Its Applications dan Civil Engineering Drawing, serta memberikan bimbingan pada 5 orang mahasiswa tingkat akhir yg semua TA-nya tentang GIS. Di UPM juga tersedia skema beasiswa lain. Kalau tidak ingin terkena kewajiban mengajar, kita bisa pilih beasiswa Special Schema. Tapi beasiswa ini tidak mencakup tuition fee. Semua permohonan beasiswa diajukan kepada pihak SGS (School of Graduate Studies) dan harus mendapat approval dari supervisor dan fakultas masing-masing.

Selain GIS, saya juga tertarik dengan komputer dan programming. Semasa kuliah di ITB saya sempat mengikuti kursus web-developer selama setahun (2000-2001). Dalam kursus tersebut saya belajar internet programming, database and information system, operating system & networking, dan web design. Untuk memenuhi persyaratan kelulusan kursus, saya membuat website PL 97 sebagai proyek akhir. Saya terus belajar komputer dan programming setelah lulus dari kursus tersebut. Ternyata keahlian saya dalam komputer dan programming sangat berguna utk riset master saya, juga mendukung kemampuan saya dalam mengemban kewajiban mengajar sebagai graduate fellow, karena kuliah-kuliah yg saya ajarkan semuanya berhubungan dengan komputer dan IT.

Monday, 28 July 2008

Riela Provi Drianda

Riela Provi Drianda, atau lebih akrab dipanggil Riela, terdaftar sebagai alumnus S1 PL ITB angkatan 2000. Saat ini Riela sedang menyusun tesis master di bawah bimbingan Prof. Isami Kinoshita, kepala laboratorium Perencanaan dan Manajemen Lansekap, Universitas Chiba yang juga merupakan koordinator umum Proyek Growing Up in Cities-UNESCO Jepang. Kesuksesan sekumpulan anak di wilayah Setagaya-Jepang untuk menuntut ruang publik yang lebih layak, yang kemudian diwujudkan dalam proses perancangan Taman Tanuki- dimana anak-anak berpartisipasi aktif sebagai perencana, arsitektur, dan mandornya- telah menginspirasi Riela untuk terus mendalami riset mengenai kota ramah anak, atau di Indonesia lebih terkenal sebagai kota layak anak. Berbagai tulisan ringan seputar riset dan kehidupan di negeri Jepang telah dituangkannya di sini.

Disponsori beasiswa Monbukagakusho, pada tahun 2006, Riela mendapatkan kesempatan untuk menjadi mahasiswa peneliti di Fakultas Hortikultur, Universitas Chiba dengan wilayah pengamatan studi Setagaya-Tokyo. Setahun kemudian, Riela mengikuti program studi master di universitas yang sama. Topik penelitian pada tahun 2007 adalah mengenai evaluasi ruang perkotaan oleh anak-anak, studi kasus wilayah Kita-Kogane, Chiba. Tahun ini, topik penelitian lebih terfokus pada bagaimana menunjang anak-anak untuk bermain dan beraktivitas dengan aman dan nyaman di ruang perkotaan.

Satu-satunya kendala untuk mengenyam studi program master di universitas ini terkait dengan penggunaan bahasa pengantar. Satu tahun pertama akan menjadi saat-saat yang membingungkan untuk beradaptasi dengan atmosfir kuliah yang sangat kaku dan tentu saja konten mata kuliah maupun penjelasan di seminar yang tidak bisa dimengerti oleh seseorang dengan level kemampuan bahasa Jepang yang rendah. Tahun kedua, mungkin akan lebih rileks mengingat studi akan lebih terfokus ke riset bukan ke mata kuliah dan tesis boleh ditulis dalam bahasa Inggris. Namun, untuk program doktor, dibuka kelas-kelas internasional dengan bahasa pengantar Inggris dan tentu saja kemampuan bahasa Jepang level lanjut tidak mutlak harus dimiliki oleh calon mahasiswa.

Riela berharap milis plitb-abroad mampu menjadi ajang yang baik untuk mengembangkan jejaring dan tentu saja teman seperjuangan untuk menciptakan lingkungan kota yang semakin ramah anak.

Memilih jenis program studi (2nd ed)

Seringkali mahasiswa terjebak mengambil suatu program bukan karena ketidakcocokan disiplin keilmuan, tapi lebih kepada kesalahan dalam memilih jenis program itu sendiri. Misalnya seorang praktisi mengambil program master by research atau master research, atau seorang akademisi mengambil program master professional.

Program pasca sarjana (graduate) secara umum biasanya dibagi dalam 2 jenis, "by research" dan "by course". Program studi by research beban studinya lebih banyak pada pengerjaan penelitian daripada kuliah di kelas. Jadi, dari awal sudah mulai mengajukan proposal tesis dan mulai mengerjakan penelitian. Mahasiswa by research biasanya hanya perlu mengambil beberapa kuliah saja. Bahkan, di beberapa universitas tidak perlu mengambil kuliah sama sekali. Sementara itu, pada program studi by course, mahasiswa perlu mengambil banyak mata kuliah. Hanya periode/semester terakhir biasanya digunakan untuk pengerjaan proyek akhir atau tesis. Untuk S2, di Amerika Utara hanya ada program by course. Untuk S3, Amerika Utara lebih terkenal dengan sistem by course-nya, sementara Eropa lebih terkenal dengan S3 by research-nya.

Kasus di salah satu universitas ternama di Malaysia

Salah satu implikasi dari perbedaan jenis program adalah pengurusan administrasi sidang. Di salah satu universitas ternama di Malaysia misalnya, untuk tesis pada program by course, pengurusan sidangnya cukup dilakukan pada tingkat jurusan/departemen, pengujinya pun dosen-dosen jurusan yg bersangkutan. Akibatnya, proses sidangnya lebih cepat karena sidang biasanya dilakukan secara kolektif dan dilaksanakan secara reguler pada tiap akhir semester. Sementara tesis pada program by research, proses sidangnya diurus pada tingkat yang lebih tinggi, biasanya universitas. Komisi pengujinya terdiri dari orang-orang internal dan eksternal universitas bersangkutan. Karena diurus pada tingkat universitas, proses dari mulai penyerahan tesis hingga sidang itu biasanya lama sekali, minimal tiga bulan, malahan bisa lebih dari satu semester. Ini disebabkan komisi penguji harus dinominasikan, dirapatkan, dan dilantik terlebih dahulu oleh pihak universitas. Kalau sudah disetujui, barulah tesis dikirim ke komisi tersebut. Mereka dibagi waktu lebih dari satu bulan untuk membaca tesis dan mengirimkan laporan. Jika semua penguji sudah mengirimkan laporan ke universitas, barulah pihak universitas akan mengatur jadwal sidang.

Setelah sidang, biasanya akan ada perbaikan. Perbaikan ini harus diserahkan ke ketua komisi penguji. Kalau beliau menyetuji, tesis yang sudah diperbaiki tersebut dapat diserahkan ke pihak universitas. Yangg diserahkan tersebut biasanya masih berbentuk draft, belum boleh di-hardbound, karena masih harus menunggu rapat senat universitas untuk menentukan apakah tesis tersebut memang sudah layak untuk disahkan. Rapat senat tersebut sekalian juga meresmikan kelulusan, dan prosesnya bisa dua bulanan.

Sistem persidangan program by research ini biasanya menimbulkan ketidakefisienan bagi mahasiswa karena harus menunggu sidang selama 3-6 bulan dan menunggu keputusan senat hingga 2 bulan. Lebih menyusahkan terutama bagi mahasiswa internasional karena membuat mereka harus bolak-balik ke negara asal atau tinggal berbulan-bulan hanya menunggu. Universitas internasional mestinya bisa membuat sistem yg sedemikian rupa sehingga mahasiswa, pada saat pulang ke negaranya, segala urusan kuliahnya sudah tuntas hingga lulus, tidak perlu bolak-balik lagi. Hal ini disebabkan kebanyakan mahasiswa pasca sarjana biasanya sudah memiliki perkerjaan tetap di negaranya masing-masing sehingga sulit untuk diminta tinggal berlama-lama hanya untuk menunggu sidang, nunggu rapat senat, dsb.

Perbandingan di negara-negara lain

Di Eropa kontinental dan Inggris, pendidikan pasca sarjana, khususnya S3, sejarahnya cukup panjang, berawal dari masa Yunani Kuno ketika murid-murid menimba ilmu ke Plato. Mereka yang ingin diakui sebagai scholar harus menulis buku. Hal ini menjadi dasar pendidikan S3 di Eropa yang by (pure) research dikenal sebagai big book style. Bedanya Eropa kontinental dengan Inggris adalah bahwa di kontinen hasil akhir berupa tesis dianggap sudah jadi, sidang cenderung hanya ceremonial atau untuk menguji kemampuan mahasiswa seperti yg tertuang dalam tesis. Oleh sebab itu, setelah sidang tidak dilakukan perbaikan tesis lagi. Ketika mahasiswa maju sidang dengan sendirinya tesisnya sudah dianggap memenuhi syarat. Jarang sekali ada mahasiswa yang gagal sidang. Berbeda dengan Inggris yg sidang/ viva merupakan tes terhadap isi tesis itu sendiri, kadangkala mahasiswa bisa tidak lulus dan biasanya selalu ada perbaikan tesis setelah sidang. Kelihatannya Malaysia (dan mungkin Indonesia) masih kental mengikuti gaya Inggris (dan mungkin Amerika).

Pada dasarnya, secara 'hirarkis', S2 by research di Eropa posisinya seperti di antara S2 by course dan S3. Namun secara prosedural akademis, di berbagai universitas S2 by research seringkali disejajarkan dengan S3, yaitu sama-sama berada dalam naungan Graduate School. Sebagai implikasinya, berbagai substansi dan standar lebih menyesuaikan dengan S3, seperti menekankan pentingnya research courses/training, publishing/writing. Graduate School biasanya memiliki program-program pelatihan – seperti bahasa, menulis akademis, IT, metode penelitian, dll – untuk meningkatkan kemampuan meneliti para mahasiswa. Namun, mengenai jadwal sidang biasanya sudah ditetapkan. Dan sidang tidak seperti sidang S3 yang terbuka untuk umum, melainkan hanya dengan dosen pembimbing dan dosen tamu dari universitas lain; dan sifatnya tertutup. Keuntungannya, program S2 by research, bisa diteruskan, digabungkan atau ditingkatkan menjadi S3, sehingga S3-nya dapat diselesaikan dengan periode yang relatif lebih cepat, hanya 3 tahun atau kurang.

Khusus untuk program-program by course, di berbagai universitas di Amerika Utara dan Eropa masih terbagi lagi antara program research dan professional, terutama untuk tingkat master. Program master research dirancang untuk menjadi akademisi atau peneliti, sedangkan program master professional lebih aplikatif sehingga lebih cocok untuk para praktisi. Program master research pada periode akhir diharuskan menyusun tesis, sedangkan program master professional menyusun laporan/proyek akhir.

Kasus-kasus yang dikemukakan di atas belum sepenuhnya dapat dijadikan acuan spesifik, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan program-program studi yang dirancang di berbagai universitas di berbagai belahan dunia.

Kontributor: Vini, Eko'90, Agung’01, Adiwan, Bobby, Delik

Editor: Delik

Thursday, 26 June 2008

Agung Wahyudi

Saya Agung Wahyudi, PL 2000. Saat ini saya sedang menempuh studi di program Physical Land Resources, di Universiteit Ghent, Belgia.

Bagaimana saya bisa sampe ke Belgia?

Saya lulus dari plano itb bulan oktober tahun 2004. Kemudian langsung di “tarik” utk membantu pengerjaan proyek-proyek bersama bpk dosen-dosen kita itu, sambil meminta izin utk mencantumkan status “research asistant” di Laboratorium Infrastuktur SAPPK ITB.

Lumayan untuk daftar-daftar beasiswa -- bathin saya bilang bgitu.

Mencoba beasiswa "sejuta umat", STUNED, gagal dua kali, ADS ditolak karena bukan PNS, NTNU jg ga diterima, dan Alhamdulillah diterima oleh beasiswa dari VLIR.

Kenapa ke Belgia?

Setelah berkali-kali gagal mencoba beasiswa, ada kawan, Ryan'94, menyarankan utk mencoba VLIR, berhubung adik iparnya juga diterima VLIR.

Usul diterima.

Download form pendaftaran VLIR, urusan biasa, jaringan internet di kampus, dan status “research assistant” membebaskan saya utk berlama-lama di lab, bahkan sampai besok paginya. Ya iya, karena saya pegang kunci ruangan, dan udah cs banget lah sama satpam akuarium.

VLIR hanya menawarkan 16 program dalam bahasa inggris yang tersebar di 4 universitas: Univ.Antwerpen, Ghent, Leuven, VUB Brussels. Ada 2 pilihan yang paling cocok: human ecology dan physical land resources. Yang pertama sebenarnya benar-benar cocok utk planologi seperti saya, tapi hanya 1 tahun. Belum tentu diakui sebagai master. Untuk pilihan yang kedua, satu-satunya alsan tertariknya adalah karena ada GIS-nya

Saya tutup mata saja, jurusan ini sebenarnya mempelajari tentang “soil science utk agriculture”.

Trus gimana?

Alhamdulillah tahun pertama berlangsung dengan mulus-mulus saja, sedikit hambatan yaitu tentang terminologi yg dipakai untuk soil science seperti chelation, complexation, kaolinitik, pf curve, pedotransfer function, hampir-hampir buat gila,,. tapi karena sudah dari dulu, ya sudah lah.

Semester kedua, seperti yg diharapkan ada GIS-nya, alhamdulillah dapet bagus. Semester ketiga ada geostatistik, Alhamdulillah juga dapet bagus, 10 dari 20,,, hampir aja ga lulus.

Oiya, sistem penilainan di UGent adalah 20 merupakan nilai maximal. Jadi kalo anda dapet dibawah 10, anda ga lulus. Di atas dan termasuk 10, lulus. Jadi jangan bangga/seneng dulu kalo anda dikasih nilai 9 di kertas exam anda, karena itu tandanya anda ga lulus!!

Sekarang Ngapain?

Berusaha mengerjakan tesis, melatih menulis dalam bahasa inggris, sharing hal-hal sederhana tentang GIS. Meng-komentari hal-hal sederhana dalam kehidupan saya, mengekspresikan hobby saya dalam rekam-merekam dan foto-foto tempat di googleEarth palagi yak,,, Nyari-nyari phd, kerja, lagi sok-sokan pengen bisa maen rollerblade, bahasa belanda, bahasa perancis.

Kenapa ikutan milist?

Alhmdulillah ada manfaatnya.

Tuesday, 24 June 2008

Pentingkah publikasi?

Mengapa presentasi/publikasi?

Selain motivasi pribadi - baik mengangkat nama sendiri maupun institusi tempat kita berafiliasi, ataupun menaikkan pangkat - tentunya, fungsi publikasi dan presentasi di seminar adalah untuk mendiseminasikan hasil riset ke pihak lain (para pengguna). Seminar juga dapat digunakan sebagai wahana untuk capacity building, melalui komunikasi antar peneliti, belajar dari orang lain tentang penelitian dan isu-isu terbaru di bidang kita, dan membangun jaringan.

Monograph- vs paper-based PhD tracks

Secara umum, ada dua trayek s3:
1) Sistem disertasi (monograf). Ini merupakan sistem yang paling konvensional, sudah lama diterapkan di banyak universitas.
2) Sejak dekade-dekade terakhir, mulai banyak universitas mendorong s3 berupa kumpulan makalah. Sebenarnya yang paling dikejar adalah makalah di jurnal internasional, karena bobotnya tinggi utk mengangkat ranking universitas. Di Belanda misalnya, ada metode s3 yang syarat kelulusannya "hanya" mengharuskan publikasi 4 makalah dalam kurun waktu 4 tahun studi. Jadi masing2 paper itu (yang telah dipublikasi) nanti dibundel dan otomatis dianggap menjadi satu disertasi sendiri.

Pada dasarnya untuk s3 dan s2 by research, publikasi jurnal dan menjadi pembicara dalam seminar adalah dua hal yang penting, terutama untuk track 2 (s3 by paper). Paling tidak, publikasi jurnal dan menjadi pembicara dapati dijadikan sks (kredit).

Perlukah presentasi/publikasi?

Bagi akademisi, publikasi itu penting karena memiliki bobot yang tinggi untuk menaikkan pangkat, terutama publikasi jurnal. Bagi birokrat, partisipasi di seminar bisa menjembatani dunia praktis dengan dunia akademisi dan untuk meng-update ilmu. Akan tetapi, bagi seorang birokrat, publikasi sepertinya kurang terlalu disorot untuk kenaikan pangkat (meskipun tetap ada point-nya untuk kenaikan pangkat). Pencapaian angka kredit lebih ditekankan kepada "masa waktu pengabdian" daripada keaktifan menulis di jurnal atau pembicara seminar. Hal ini karena birokrat keutamaanya bukan menulis dan mengajar, tetapi kemampuan birokratif dan networking. Untuk praktisi seperti LSM atau konsultan, publikasi kurang penting. Bagi mereka, yang lebih penting adalah practical experience. Lama pengalaman kerja akan lebih penting dibandingkan jumlah publikasi. Namun, seminar tetap relevan. LSM banyak memiliki pengetahuan yang "fresh", karena langsung bersentuhan dengan hal-hal praktis, yang penting untuk dibagikan. Untuk konsultan, ajang-ajang yang lebih relevan mungkin pameran-pameran, bukan seminar. Dengan pameran, mereka bisa display produk-produk mereka dan juga cross exposure dengan produk-produk lain. Namun, meskipun bukan akademisi, selama sekolah kita berarti berada di lingkungan akademik sehingga sebaiknya tetap mengikuti sistem yang ada didalamnya.

Kontributor: Kinoy, Enta, Agung '01, Saut, Adiwan, Delik
Editor: Delik

Saturday, 24 May 2008

Dea Paramita

Nama lengkap saya Dea Paramita Kusumaputri Supit (dulu untuk praktisnya suka disingkat Dea Paramita K.S). Saya biasa dipanggil dengan nama Dea. Kuliah di PL ITB mulai tahun 2000 bulan Agustus dan lulus Maret 2005. Aktivitas sekarang baru menjadi mahasiswa kembali. Minat saya seputar environmental issues, baru mulai mendalami maksudnya.

Saya tau milis ini dari Sari PL’00 ITB, yang sekarang sedang studi di Belanda. Senang bisa bergabung, mudah2an silaturahmi bisa jalan terus.

Saat ini baru menjalani program Master of Environmental Management and Development, di The Australian National University (ANU), Canberra, Australia. Deskripsi singkatnya program ini sangat terkait dengan kebijakan publik dan environmental issues in development. Belum bisa bercerita banyak tentang kelebihan dan kekurangan..mungkin nanti setelah beberapa bulan belajar. Lagipula sepertinya menuntut ilmu seharusnya tidak ada kekurangan yah.. ;) Pesan : silakan mengunjungi saya kalau lagi mampir ke Canberra.

Monday, 19 May 2008

RT/RW: Neighborhood association di Indonesia

Penelitian tentang neighborhood association, seperti rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT), di Indonesia masing jarang, terutama jika disangkutkan dengan bidang perencanaan. Satu-satunya penelitian yang bisa diakses tentang RT/RW secara komprehensif adalah "kampung and state", dari John Sullivan, yang umur penelitiannya sangat tua. Menurut Sullivan, kampung itu punya dua makna, yaitu kampung sebagai komunitas dan kampung sebagai bentuk administrasi. RT/RW itu sebenarnya kampung dalam bentuk administrasi. Makna ini cocok untuk konteks perkotaan. Kalau di perdesaan kita mengenalnya sebagai desa (rural village), di perkotaan kita kenal sebagai kampung (urban village). Kalau di desa kita kenalnya dusun, di kota kita kenalnya RW atau dulu dikenal dengan Rukun Kampung (RK). Desa-desa kecil di luar Jawa banyak yang memakai nama RK daripada dusun. Lalu, kalau di desa kita kenalnya dukuh, di kota kita kenalnya RT. Kemungkinan nama desa, dusun, dukuh itu sebenarnya hanya ada di masyarakat pulau Jawa saja karena bentuk itu berakar dari sistem kerajaan yang digunakan di Jawa. Di Sulawesi Selatan setidaknya tidak ada istilah desa, dusun, dukuh, tetapi adalah adanya kampung.

RT/RW sebenarnya bukan ciptaan Jepang, tetapi pada zaman pendudukan Jepanglah nama kampung mulai diakui sebagai bentuk administrasi dari ‘kampong’. Nama resminya "tonarigumi" (neighborhood blocks), mengikuti sistem administratif komunitas di jepang pada saat itu. Hingga jaman kependudukan Jepang, kampung tidak pernah dikenal sebagai bentuk administratif, karena jika berbentuk administratif berarti memiliki political sense. Sementara oleh penguasa Indonesia sebelum Jepang, kampung selalu dianggap sebagai komunitas yang tidak memiliki political sense. Ini agak membingungkan, karena fungsi yang dipegang kampung dari dulu juga sudah memasukkan fungsi administratif. Bahkan, ini terjadi sejak jaman kampung pertama kali dibentuk pada jaman kerajaan-kerajaan dulu.

Jaman pendudukan Jepang itulah yang menjadi dasar peletakan fungsi kampong (kampung) sebagai bentuk administratif di Indonesia. Jepang mengesahkan fungsi administratif itu dalam rangka mempermudah mobilisasi penduduk untuk keperluan perang. Setelah Jepang kalah dan kita merdeka, kita mewarisi bentuk administrasi yang sudah dibentuk jepang. Mungkin lebih karena bentuknya yang sudah tersistematisasi dengan baik hingga ke desa-desa terpencil. Sejak jaman Jepang yang memfungsikan kampong-kampung itu sebagai bentuk administratif, fungsi komunitasnya menjadi "tersembunyi". RT/RW lebih dilihat sebagai "perpanjangan" tangan administrasi pemerintah, sehingga fungsi yang tampak jelas adalah sebagai salah satu produk brainwash-nya Orba. Akibatnya, masyarakat sekarang lebih menganggap RT/RW sebagai formalitas saja. Padahal, dulunya sebenarnya adalah entitas komunitas yang meskipun mempunyai fungsi membantu pemerintah, tetapi tidak disetir oleh pemerintah. Berbeda dengan yang kita ketahui sekarang, walaupun trend-nya sudah mulai berubah sejak reformasi.

Sistem neighborhood kita agak susah kalau mau difungsikan seperti di negara-negara maju – misalnya seperti di Australia, di mana aspek pelayanan publik lokal di scale-up pada tingkat yang lebih tinggi dan neighborhood association berfungsi tidak lebih dari sekedar ‘homeowners association’. Hal ini dapat mengubah seluruh rantai sistem pelayanan publik kita. Selain itu, latar belakang kultural dan historisnya berbeda, sekalipun dengan Jepang yang dulu membangun sistem kita. Yang mungkin menarik untuk diamati adalah sistem machizukuri Jepang, dimana perencanaan ruang kota skala kecil dilakukan oleh komite masyarakatnya, lalu membangun partnership dengan pemerintah dan bisnis, mengelola, memelihara, dan seterusnya. Kompleksitasnya sudah seperti skala kota, padahal lingkupnya kecil, mungkin satu kelurahan (jadi komite masyarakat mirip seperti "pengurus kelurahan"). Kalau di Indonesia rapat kelurahan masih sibuk membicarakan program kelurahan, di Jepang rapat "kelurahan" sudah membicarakan investasi skala besar. Berhubung sistem kita cukup mirip dengan Jepang, bisa gak ya kelurahan di Indonesia belajar dari Jepang?

Kontributor: Kinoy, Arief, Agung '00

Editor: Delik

Wednesday, 23 April 2008

Social experiment method

Pengertian

Eksperimen bermaksud mengamati hubungan antara X dan Y (bisa juga lebih dari dua variabel. Misalnya sejauh mana X mempengaruhi Y, bagaimana X mempengaruhi Y. Cara melihatnya dengan melakukan percobaan (eksperimen), dimana variabel lain selain X dikontrol. Jadi kalau Y berubah, itu pasti karena perubahan pada X, bukan faktor-faktor lain.

Metode social experiment sangat menarik karena diturunkan dari metode eksperimen yang biasa dilakukan ilmuwan-ilmuwan ilmu pasti. Jika eksperimen di lab yang menjadi objeknya tikus, kelinci, tanah, dll. maka pada social experiment, yang menjadi objek percobaannya adalah manusia, makhluk sosial. Disebut sosial karena mungkin objeknya khas dan dinamis, bisa berbeda-beda di tiap lokasi, budaya, dan unik. Jadi, sebenarnya sama saja hanya objek (subjek) yang ditelitinya saja yang "sosial".

Tipologi dan aplikasi

Metode eksperimen dapat dibagi 3, menurut Bryman: Field experiment, laboratory experiment dan quasi-experiment.

a) field experiment ini sebenarnya yang pada umumnya digunakan oleh social researcher, di mana eksperimen dilakukan pada "real-life setting". Contohnya mau mengecek bagaimana pengaruh harapan orang lain pada seseorang bisa mempengaruhi perilaku keseharian orang itu. Misalnya, bagaimana harapan guru terhadap murid-murid tertentu yang dianggap pintar bisa berpengaruh terhadap nilai akademis mereka di kemudian hari. Maka si peneliti, secara acak, bisa memilih 10 murid di antara 50 murid sebagai sampelnya. 10 murid itu itu diberi label : anak jenius , dan hal ini disampaikan kepada sang guru. Lantas pada akhir tahun ajaran dicek, apakah nilai-nilai kesepuluh murid itu berbeda dengan nilai-nilai 40 murid lainnya? bila iya, maka bisa diidentifikasi hubungan kausalitas antara "harapan guru terhadap murid" (X variable) dan "nilai akademis murid tersebut" (Y variable). Dengan field experiment, hubungan kausalitas antara X dan Y bisa lebih dipastikan; dan ini dalam riset sosial disebut validitas internal.

b) Laboratory experiment, eksperimen tipe ini dilakukan di "laboratory setting", ruangan tertutup dengan intervensi dan manipulasi sebanyak mungkin yang diinginkan researcher. Contohnya melihat pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja, terhadap konsentrasi dan produktivias pekerja. Pekerja dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diberi suara bising, kelompok kedua tidak. Setelah itu mereka dites, dan dilihat hasilnya. Keacakan pemilihan sampel ke dalam grup-grup yang ditentukan harus dipelihara. Jadi misalnya ada 40 pekerja, dibagi 2 grup (ditempatkan di dua ruangan berbeda, satu bising dan satu tidak), pembagian 20-20 itu harus acak. Adapun pemilihan dua grup bertujuan untuk memperkuat validitas internal dari eksperimen tersebut. Dengan adanya grup yang tidak diberi kebisingan, maka hubungan kausalitas antara "kebisingan" dan produktivitas kerja dapat lebih terjamin, dibandingkan dengan hanya menggunakan satu grup saja. Dalam tipe B ini dapat dilihat bagaimana lingkungan di sekitar sampel dimanipulasi layaknya kondisi di laboratorium. Yang membedakan tipe a dan b adalah validitas ekologi. Pada tipe a, validitas ekologinya tinggi, sebab temuannya bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sementara tipe b hanya berlaku pada setting tertentu saja.

c) Quasi experiment; dalam eksperimen ini, prinsip keacakan ditinggalkan. Tipe c ini bermanfaat dalam menguji hasil penerapan sebuah kebijakan. Misalnya, pemerintah menaikkan harga BBM, dan ingin mengtahui efek kenaikan harga BBM tsb terhadap kesehatan PNS. Ada pun PNS yang akan dites ini diklasifikasikan ke dalam 3 grup: PNS yang berpendapatan rendah, menengah dan tinggi. Jadi PNS-PNS yang ada di pemerintahan tidak secara acak dibagi ke dalam 3 grup, melainkan dibagi berdasarkan pendapatan. Pada penelitian urban planning, untuk tipe C mungkin bisa berupa (misalnya) evaluasi dampak akibart dikeluarkannya UU Tata ruang yang baru terhadap keberadaan taman kota.

Kontributor: Agung '01, Sari, Adiwan, Kinoy
Editor: Delik

Thursday, 3 April 2008

Tinggal di luar negeri dan kontribusi terhadap Indonesia

Berikut adalah kutipan-kutipan diskusi dengan topic “kontribusi terhadap Indonesia” selepas lulus dari pendidikan di luar negeri. Ada pun diskusi ini di-trigger oleh video lucu dari rekan-rekan mahasiswa di Groningen yang bisa diakses di YouTube.


Lantas, Delik (PL 2000) mengatakan bahwa video ini bagus diantaranya untuk mengingatkan kita-kita supaya tetap memegang teguh komitmen untuk berkontribus bagi bangsa. Diskusi di-trigger oleh pertanyan Oom Bobby =D (PL 95) berikut:


"ngingetin org2 yang lg di LN spy berkontribusi thd Indonesia. "....a very interesting statement. i have a question, kawan2 yang bergabung di milis ini setelah selesai dengan pendidikan, apa harus pulang, mau pulang atau tidak mau (berusaha tidak) pulang.


Mula-mulanya beragam variasi atas pertanyaan ini


Putri (PL 2001) :


Kalau saya sih tidak ada kewajiban untuk pulang (dari pemberi scholar nya).. Dan maunya pulang.. cuman kalo ada tawaran ditempat lain untuk masa depan yang lebih baik, kenapa enggak ;p

Arief M (PL 2001), dengan agak diplomatis menjawab:


Saya stuju dgn pidato Presiden SBY swaktu konferensi PPIA sluruh dunia d Sydney tahun kemaren. Mnurut bliau, boleh bekerja d luar negeri tetapi hrs inget dgn Indonesia. In other words, we don't leave our roots. Mdh2an dgn jalan hidup yg kita pilih, bs memberi kontribusi sendiri bagi negara kita.


"Berkontribusi" apakah sama dengan "pulang"?


Delik (PL 2000):


Pada dasarnya statement 'berkontribusi thd Indonesia' TIDAK SAMA DENGAN statement 'pulang ke Indonesia'. Pulang ke Indonesia mungkin cara yg paling konvensional, lbh transparan, lbh mudah diakui utk berkontribusi . Namun, berkontribusi maknanya bs jauh lbh besar dr itu. Dalam beberapa kasus, org yg berada di LN kontribusinya bs jauh lbh besar drpd org yg kembali (apalagi kalo pulang ke Indonesia berkontribusinya hanya pd penambahan beban negara & jumlah koruptor hehe...). Perihal ini, kita bs ambil contoh gmn para pelajar India berbondong2 sekolah ke luar, khususnya US (bener ga mas Bobby?).

Apalagi misalnya mas Bobby mempertanyakan perihal guna GIS utk planning di Indonesia. Pada sisi lain, saya juga msh mengamati perkembangan dunia akademis/penelitian di Indonesia. Karena selama ini sy berkarier ga jauh2 dr dunia tsb. Sayangnya perhatian pemerintah & masyarakat Indonesia thd penelitian & pendidikan msh sangat minim. Dr penelitian PBB, Indonesia dikategorikan salah satu yg terendah dlm proporsi budget utk sektor ini, sekelas dgn negara2 termiskin di Afrika, sedih : (. Sayang juga jika ilmu, keahlian yg begitu sulit didapat & sangat dihargai di luar Indonesia kita tinggalkan begitu saja sepulang ke Indonesia nanti. Tentu ini tidak bisa digeneralisir lho. Khusus ke-plano-an ini, mungkin utk dunia praktis yg agak geser ke bidang2 ekonomi, pembangunan, pemberdayaan tampaknya msh prospektif. Tp ga tau kalo bidang2 akademis, research, pure planning, planning technology, dsj.

Namun, jika memang tinggal di luar dlm kondisi tertentu bisa menjadi alternatif, lalu bagaimana mekanisme 'kontribusi' ini bs kita jalankan secara real/transparan/accountable, khususnya dalam jangka panjang & perspektif kolektif bangsa?


Networking sebagai solusi


Agung D (PL 2001):


sepakat dengan statement "berkontribusi" tidak sama dengan "pulang".
hanya saja, dalam konteks berpikir saya (mungkin rada kolot hehe), "transparansi/akuntabilitas" yang disampaikan Delik perlu usaha yang cukup banyak bila dilakukan dari luar negeri. Saya tidak menafikkan kelemahan2 yang banyak sekali ditemui di Indonesia terkait kultur dan dana riset; saya juga tidak menafikkan ketertinggalan bangsa kita di bidang teknologi, sehingga penerapan program2 GIS mungkin lajunya tidak secepat dibanding ketika dipakai di luar negeri. Cuma, 'keterikatan' dengan tanah air itulah yang harus dibangun di mana pun seorang warganegara tinggal.

Jadi kalau bayangan saya, mau di luar ataupun di dalam negeri, semua WNI yang berpendidikan tinggi bisa berpedoman pada platform yang sama. Misalnya isu pembangunan di Indonesia yang terkait keplanologian sekarang adalah penerapan GIS yang 'ga up to date'. planner2 yang menjadi praktisi GIS di LN mungkin bisa mensupply informasi kepada koleganya, sesama praktisi GIS, di Indonesia. Untuk kemudian yang di Indonesia ini mengembangkan sesuai konteks negara kita. Dalam hal ini, jaringan (network) menjadi penting untuk membuat "ikatan" yang saya kemukakan di atas. Sehingga masing2 tidak berjalan sendiri2, melainkan bekerjasama secara terorganisir untuk sedikit berkontribusi bagi tanah air.

Saut (PL 1996) menimpali:


setuju dengan pendapat Agung bahwa perlu ada keterikatan yang tetap tinggi terhadap tanah air, khususnya dalam konteks sumbangsih keilmuan yang disebutkan di atas.

utk praktisi GIS sendiri, sebenarnya RS-GIS Forum sudah cukup profesional dalam mewadahi diskusi-diskusi / berbagi keilmuan tentang GIS untuk kebutuhan indonesia. termasuk juga yang
perlu dicatat ketika tsunami terjadi di Aceh dan Gempa di Jogja, mereka melakukan kompilasi peta-peta dasar / tematik yang berguna buat kebutuhan mendesak pasca bencana di kedua tempat di atas. Pak RA (Roos Akbar) sendiri termasuk salah satu peserta di sana dan kadang2x memberikan kontribusi ketika ada pertanyaan terkait dengan tata ruang.

kelebihan forum yang saya sebutkan di atas adalah itu sudah menjadi lintas disiplin (geografi, geologi, planologi, geodesi, kehutanan, dll) dari para pengguna GIS dan juga tentunya lintas universitas. utk
bidang planning sendiri, saya belum ketemu forum serupa yang seaktif ini di Indonesia. mungkin ada yang tahu?


Adiwan (PL 2000):

Menanggapi email sebelumnya, saya ikut dalam forum tsb. Meskipun saya hanya ikut forum RS-GIS forum (jadi tidak ada perbandingan), saya kira milis dan forum ini sangat aktif. Benar yang dikatakan mas Saut bahwa di forum tsb sangat lengkap background membernya, ada geologi, geografi, geodesi, kehutanan, pertanian dll.silakan dicoba untuk membuktikan

menanggapi email Agung dan Delik, saya kira dinegara manapun kita berada, kita bisa tetap berkontribusi
untuk negara. yang penting kita memang niat dan mau aktif berkontribusi. Pernah ada teman dari jurusan
T.Penerbangan bilang bahwa dosennya yang alumni suatu univ di USA membawakan proyek bagi jurusan dan IPTN.

saya rasa dimanapun orang terdidik itu berada, tidak menjadi masalah.lagipula bagaimana dengan kasus
misalnya orang terdidik itu ahli dalam bioteknologi, sementara LIPI/Dept pertanian/lembaga eijkman atau perusahaan swastapun blm siap mengembangkannya khawatirnya ilmu yang didapat menguap begitu saja (dan ini sudah sangat umum saya lihat,,,).


Beberapa pelajaran yang bisa dipetik ...


Bobby (PL 95) :

terima kasih atas tanggapannya dari pertanyaan saya. sukur mendengar sudah tidak ada lagi pola pikir jaman orde baru Alm.H.M.Soeharto, yang kebanyakan sekolah tinggi2 di luar negeri (walaupun kebanyakan sekolahnya ga jelas mutunya!) hanya untuk pulang dan berharap jadi menteri.

kawan2 di milis ini kebanyakan tidak merasa harus pulang kecuali diharuskan oleh sponsor. pesan saya:...CARILAH PELUANG DAN COBALAH UNTUK BEKERJA DI LUAR INDONESIA. jurusan kita tercinta planologi, menurut saya adalah jurusan yang paling sedikit proporsi lulusan nya yang bekerja dan berkarir di luar indonesia. jangan jauh2 sama lulusan ilmu kebumian seperti tambang, minyak, dsb. yang keliatannya sangat gampang untuk dapat kerja di luar....kita kalah dengan tetangga dekat kita jurusan Arsitektur. Arsitektur itu mengirimkan seorang tukang tarik garis hampir setahun sekali ke sebuah perusahaan di Baltimore.

kenapa kita kalah? saya pribadi beranggapan karena kita itu terlalu di nina bobokkan untuk menjadi policy maker ketimbang betul2 mengerti masalah teknis. teknis tidak harus murni perencanaan fisik ya. kalo memang sesumbarnya kita itu mau menjadi PT kelas dunia, artinya jurusan PL kita pun harus siap mencetak planners yang bisa ditarik bekerja di luar indonesia. ga jaman nya lagi lah kayak Alm bapakku yang kerja PNS 30 tahun punya anak 4 terus pensiun pangkat 4 E. that is a good life....but it aint my life!

intinya...kalo saya pribadi tidak terlalu muluk mau kontribusi GIS ke indonesia...yang saya inginkan bagaimana saya pribadi bisa bantu kawan2 yang berkeinginan untuk datang ke amerika, sekolah dan bekerja disini. i am not planning to change the planning world...i'm just planning to plan my life.


Agung D (PL 2001)


om Bobby ,wow, straightforward hehe
siip deh mas, saya dukung usahanya untuk meng-encourage rekan2 pl itb untuk melanglangbuana
ide yang bagus
banyak yang kerja di luar, banyak hal2 baru yang bisa diupdate

saya jadi terbuka wawasannya dengan pendapat mas Bobby
saya pribadi masih dalam kebimbangan untuk memutuskan langkah selanjutnya setelah master ini
hehe, kebiasaan "let it flow"..
yang jelas, saya yakin dengan banyaknya alumni pl di luar negeri, bisa mempersolid jaringan dan juga memperlancar arus informasi
seperti yang kita lakukan sekarang

Bobby (PL 95)

terima kasih. Insya Allah semakin banyak armada jacket maroon kita yang bisa berkarya di luar Indonesia. om agung betul sekali, semakin banyak kita di luar, semakin flavor yang bisa kita tawarkan. saya pribadi mencoba berkontribusi sebisanya. ditunggu langkah selanjutnya setelah master. "let it flow" itu banyak makan umur...jadi hati2...hahaha


Agung D (PL 2001)


o ya, sekalian mau nambahin
kemarin saya dapet cara pandang baru tentang kontribusi bagi indonesia
kalau lihat india, dia punya dignity yang tinggi, bahkan dalam berhubungan dengan amerika sekali pun

cerita punya cerita
waktu musibah tsunami kemarin, rencananya Bill Clinton sebagai duta amerika mau nyambangin wilayah India yang terkena tsunami sekaligus mau ngasih bantuan
lucunya, nih duta pada akhirnya "dikurung" di New Delhi aja, n ga boleh dateng ke wilayah yang terkena tsunami
katanya India mencium ada udang di balik batu dalam bantuan amerika itu. jadi, daripada ujung2nya India disuruh nurut2 sama amerika, mereka pilih ga terima sumbangannya

kok berani ya India? hehe, saya ga punya data statistiknya... cuma denger2 lagi, sarjana india banyak yang ngantor di sillicon valley. SO, kalau pemerintah India mau narik sarjana-sarjananya, bisa jadi dampaknya cukup besar bagi amerika

Dalam konteks ini, harga diri sebuah bangsa juga bisa dibantu dengan mendunianya kualitas sarjana2 bangsa tersebut. Jadi saya kasih "compliment" buat pendapat mas bobby. Cumaa, dengan syarat... sarjana2 Indonesia memiliki keterikatan kuat dengan tanah airnya.


Resume


Secara umum, pelajaran yang bisa dipetik dari diskusi ini adalah: tidaklah penting apakah kita berada di Indonesia atau pun di luar negeri, selama kita masih bisa membuktikan kontribusi kita bagi tanah air, maka bekerjalah di mana pun kita bisa. Kita mafhum akan adanya keterbatasan pemerintah kita dalam hal riset, di sisi lain kita juga tidak mau kemampuan kita yang sudah susah payah didapat dari studi di luar negeri meguap begitu saja. Kompromi dapat dilakukan dengan membangun jaringan yang berisi ahli-ahli sebuah bidang ilmu lintas negara; misalnya praktisi GIS Indonesia yang tersebar di beberapa negara membentuk milis RS-GIS Forum. Untuk bidang2 keilmuan lain, diharapkan “networking” seperti ini juga segera dimulai. Ada komentar dari pembaca?

Editor: Agung '01

Wednesday, 2 April 2008

GIS: Beyond traditional planning tools

Cara mendalami GIS secara lebih intens

AgungWah : 'Saya tertarik jg bidang GIS, dan ingin mendalami systems developer jg, mas punya saran buku utk dibaca atau web2 yg bisa digunakan utk bahan pelajaran (dasar) ngga?'

Adiwan: '... bisa coba baca “GIS a computing perspective” by Michael Worboys untuk dasar2 GIS computing (database, internet GIS, dan logika GIS) Pro Oracle Spatial (Buku tentang spasial database punya Oracle). ini perlu kalau mau jadi developer Oracle Spatial '.

Bobby: 'kalo untuk research saya kurang tahu programming language apa yang dipake. kalo untuk industri, VB.NET/ C# udah cukup. tapi platform nya ESRI. UC Santa Barbara itu mereka punya software GIS yang mereka bikin sendiri, karena ESRI mereka anggap kurang robust untuk kebutuhan research mereka...'

Mainstream GIS

Bobby: 'GIS itu dari perspektif saya bisa dibagi 2: (professional perspective)
1. Sebagai alat analisis.
2. Sebagai sebuah sistem.
nah, agung itu sekarang mau konsen nya kemana? mau jadi GIS Technician/Analyst atau Developer? kalo developer pun masih bisa dibagi dua lagi application development atau database development.
analyst: harus punya background seperti city planning/public policy/geography. jadi GIS itu murni dipake sebagai alat analisis. harus punya background di statistik (spatial and non-spatial statistic).
application development: harus punya background programming language (.Net and/or Java). untuk ESRI software kalo mau jadi application developer bisa coba diliat ArcObjects COM di www.esri.com. web development silakan check untuk ESRI ActiveX Connector.
database development: Oracle, SQL Server yang terkait dengan SDE/Oracle Spatial'.

AgungWah: 'Memang saya tidak bisa begitu saja meninggalkan latar belakang pendidikan S1 plano dan S2 agriculture ini, jd most probably kalau dalam klasifikasi mas Bobby, saya adalah orang yg interest sebagai GIS sebagai pengguna alias GIS Analyst. Tp kalau melihat perkembangannya (dan termasuk baca2 di jurnal GIS) kenapa ya orang2 yg dlm kategori "developer" itu malah berkembang lebih cepat yah?? mksd saya mereka seperti tahu masalah dan mengerti bagaimana memecahkan masalah itu,,,persis seperti cita2 seorang "engineer" bukan??.
Saya melihat, permasalahan2 yg berkembang baik di dunia on-plano khususnya, maupun off-plano menuntut pengguna2 GIS tidak hanya sebagai "analyst" saja, tp jg developer?? bener ga nih?? ini jg termasuk bidang2 pekerjaan dan PhD2 yg ditawarkan,, seperti nya menuntut "tidak hanya analyst"...'

Bobby : 'benar sekali. karena backgound kita itu planning kita makanya harus jadi analyst dulu. bagus kalo agung mulai sadar dan tertarik dengan aspek application development. lebih bagus lagi kalo agung bisa bikin model spatial statistics yang robust, kemudian bisa dipake untuk model simulation. nah disitu baru butuh application development untuk run model'.

Adiwan : 'Untuk Mas Bobby, saya masih belum terbayang jadi GIS developer itu main tasknya apa ya? memproduksi system GIS dengan spec tertentu untuk client yang berbeda2? base softwarenya apa, ArcGIS, MapInfo, Oracle atau?
Dari pengalaman, saya rasa GIS itu sangat powerful menjawab tantangan dalam dunia perencanaan. Pertanyaan saya adalah, GIS developer itu punya main task apa? apakah membuat sistem GIS yang powerful sesuai kebutuhan client?

Bobby : 'main task dari GIS Developer itu membangun tools sesuai dengan permintaan client (jadi Adiwan benar). contoh nyata:
client kami FEMA mau menstandarisasi seluruh flood mapping di America (50 states). karena semua peta itu mau distandarisasi, tentu dibutuhkan seperangkat alat/tools yang tinggal ditekan tombol, jadi peta yang sesuai dengan standard FEMA. nah untuk itu, dibutuhkan tenaga GIS Developer untuk membangun tools yang mampu men summarize berbagai sumber peta untuk menghasilkan seperangkat FEMA standard map.
Silakan coba link ini ... atau ketik di google DFIRM TOOLS. ada flash video nya di bagian kanan. my job is to build, maintain and enhance those tools'.

Issue in GIS: Poor Data (base)

Bobby : 'i am writing this response to open your horizon. for us, city planners, GIS is no more than just a pretty map. GIS is more than that! Unfortunately we don’t have sufficient GIS database back home .... It is growing fast, much faster than the old city planning school of thought like top-down/bottom-up/collaborative planning, etc. However, I don’t know if you can actually find a job back home with this kindda expertise....at least I am still here'.

Adiwan : 'Betul seperti yang dikatakan mas Bobby, the problem to be a GIS profesional di Indonesia adalah spasial database yang masih sangat terbatas meskipun Bakosurtanal sudah mulai memproduksinya. Hal ini didorong oleh banyaknya negara donor setelah peristiwa tsunami Aceh 2004 yang datang ke Indonesia untuk membuat peta bumi yang terbaru. Jadi saya kira beberapa tahun ke depan spatial database kita akan lebih lengkap dari saat ini'.

Bobby : 'Syukur kalo semakin banyak negara donor yang memberikan dana untuk membangun peta bumi yang baru. tapi yang mereka bangun itu kesannya kok hanya peta fisik saja ya? GIS in planning itu kan kebanyakan menggunakan data2 populasi, traffic analysis zones, male/female, dsb. aku rasa data2 seperti itu kita ga punya. yang di amerika sini, data seperti itu bisa didown-load gratis dari TIGER Census'.

Adiwan: 'Saya kira biaya GIS advance yang tinggi menjadi persoalan mengapa sistem ini relatif lambat berkembang di Indonesia. Tapi setahu saya, Bakosurtanal sudah ikut serta dalam National Spatial Data Infrastructure (NSDI). dengan demikian, seharusnya data spatial antar provider yang berbeda sudah bukan masalah. Btw yang TIGER mas Bobby katakan, itu data social biasa atau data social yang sudah dimasukkan dalam spatial statistics? sangat menarik jika sudah berupa spatial statistics'.

Bobby : 'data tiger itu berbagai macam. karena sudah banting setir ke development, saya kurang ikuti perkembangannya. tapi dulu itu ada demography data, street data, etc. demography data is represented as a polygon (census tract or census blocks), the street data is represented by a polyline data (the street median). you can mix and match this data to perform 4-steps model (along with trip diary/travel demand data)...'.

Issue in GIS: Lack of Research

Bobby: '... plus I don’t think the professors who teach the classes in ITB, actually [really] understand [comprehensively] about this technology. It is growing fast, much faster than the old city planning school of thought like top-down/bottom-up/collaborative planning, etc. …..

AgungWah: 'oya, ttg koment mas yg bilang dosen gis di itb ga [tlalu ngikuti] perkembangan terakhir di GIS, ya mgkn di situlah celah kita utk mengisi gap itu,,, *hehe,,serem jg nih klo gw nglamar jd dosen itb trus ga uptodate*' .

Bobby: 'kekurangan dosen2 kita di ITB itu, mereka tidak intens menjalankan research sesuai dengan bidang nya terutama GIS, statistical analysis. masih teringat dulu [di ITB di kelas] statistik, kok kayaknya dipersulit? saya yang kalkulus I dapat A dan Kalkulus II dapat B, agak keropatan mengikutinya. tapi begitu diajarin Cervero di Berkeley, kok gampang amat ya? sangking gampangnya hampir juga ngambil mata kuliah di econometrics sama McFadden...sayangnya berbenturan sama kelas GIS. kenapa? karena cara pengajarannya itu bukan hanya teori, tapi langsung ke praktek gimana caranya dan bagaimana cara menginterpretasi dan mendebatnya. kalo di ITB itu ... cuma ngajar teori...'.

Editor: Agung '00

Tuesday, 1 April 2008

From compact city to growth management

Diskusi berikut ini dipicu dari pertanyaan rekan Ghulam yang ingin mengkaji kemungkinan penerapan konsep compact city di Bandung Timur.

Definisi dan kriteria compact city

Agung Wah: '[untuk melihat] seberapa compact atau seberapa sprawl pola dan struktur tata ruang... bisa coba pake GIS terutama arcGIS... Sederhananya, di ArcGIS di Spatial Analyst tools ada fungsi DENSITY, nah kemaren saya nyoba utk buat density kepadatan bangunan, and it's quite ok. Hasil di petanya, adalah kepadatan "kawasan terbangun/luas area". Nah, [kita] langsung bisa klasifikasiin..., kepadatan yg seberapa yg [kita] mau utk disebut DENSE or MODERATELY DENSE etc. Dan kerennya, ini ga terbatas wilayah administratif, jd batasnya fungsional dan continue...

Delik: 'Compact city sbnrnya konsep yang tradisional kalo di Eropa. Kyknya secara praktek sudah diterapkan sejak jaman pertengahan (walled cities). Konsep dasarnya pembangunan keruangan kota yang efisien. Beberapa indikasi umum:
- pembangunan intensif. Bisa dibilang "musuhnya" sprawl.
- pemisahan yang tegas antara kota (terbangun) dan desa (tdk terbangun), dulu batasnya benteng, di jaman modern bisa green buffer atau sejenisnya.
- jarak perjalanan komuting yang pendek, atau meminimalisasi long distant daily travel. Di belanda dulu di desain jarak batas kota ke pusat kotanya tidak lebih dari 30 menit mengendarai sepeda'.

Saut: '... apakah kriteria "compact city" dihitung berdasarkan kepadatan dari bangunan-bangunan yang ada? Atau juga ditinjau sejauh mana infrastruktur2x juga tersedia secara merata? Misalnya adanya sistem pergerakan yang bagus (transportasi) sehingga mobilitas bisa tinggi? Sebagai contoh Osaka, adalah kota yang besar (padat), penduduk > 8 juta jiwa. Tapi kemacetan tidak ditemui di sana karena subway (sampe beberapa lapis), melingkari kota dan juga dari ujung timur - barat dan utara - selatan. Tapi tentu berbeda dengan Jakarta, walaupun padat, tp ketersediaan prasarana penunjang tidak mencukupi'.

Kritik terhadap compact city

Delik: 'Sbnrnya ide compact city sudah banyak dipersoalkan di berbagai artikel/buku, khususnya di Belanda sejak akhir 90an. Belanda sendiri yg terkenal sbg salah satu negara yg paling compact kota2nya sdh tdk menggunakan asas ini sbg filosofi utama kebijakan penataan ruang (krn juga menguatnya market, globalisasi, teknologi trans&kom dll)'.

Niken: '... compact city memiliki beberapa karakteristik seperti high density, mix-land-use, dan proximity. Soal kedekatan jarak, sebenarnya di jaman modern ini masih penting juga, karena warga kota diharapkan dapat melakukan pergerakan dengan jalan kaki atau naik sepeda. Memang dengan adanya teknologi, kita bisa menempuh jarak lebih jauh dengan waktu lebih minim. Tapi teknologi yang diutamakan adalah penggunaan mass-transportation, karena penggunaan kendaraan pribadi tentunya lebih boros energi.
Salah satu kelemahan dari konsep compact city ini adalah ia memang mengurangi jarak dan energi yang dibutuhkan untuk pergerakan horisontal, namun justru meningkatkan pergerakan vertikal seperti lift, eskalator, dll. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan konsep 'hemat energi' yang dituju.
Ada juga yang mengkritik melalui fenomena urban heat, atau suhu panas yang ditimbulkan oleh kumpulan gedung2 tinggi tersebut. Maaf, berhubung saya belajarnya di bidang environment, jadi hampir setiap konsep perencanaan selalu dihubungkan dengan penghematan energi dan global warming, dst.
Selain itu, kemampuan sebuah area untuk menampung dan menyediakan basic service bagi penduduk dengan kepadatan tinggi tentunya seringkali menjadi masalah tersendiri, terutama di negara berkembang'.

AgungMah: 'bila memang demikian adanya dengan konsep "compact city", maka rasanya itu sudah usang sebab, benar apa yang disampaikan Delik, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi membuat jarak menjadi "meaningless" benar juga yang disampaikan Niken tentang mobilitas yang tinggi secara vertikal. Dalam era "competitiveness" sekarang ini, batas antar wilayah menjadi tidak jelas ambil contoh Amsterdam di Belanda saja Amsterdam itu join di sekurang2nya 2 grup metropolitan besar Amsterdam Metropolitan Area (Amsterdam dan kota2 sekitarnya) dan Randstad (Amsterdam, Utrecht, Rotterdam dan Den Haag) belum lagi skala eropah, amsterdam juga bergabung dengan beberapa jaringan kota2 besar ini dengan tujuan untuk meningkatkan kompetisi dan membangun imej baru kota yang pada akhirnya, berusaha "menangkap" kapital2 asing untuk masuk ke dalam kota.
... kembali ke pertanyaan ... menerapkan "compact city" di bandung timur kemungkinan besar untuk mengurangi kemacetan ... mungkin lebih baik ... diarahkan ke perbaikan sarana transportasi publik sebab membatas2i bagian kota dengan ide "compact city" sudah tidak mungkin lagi sepertinya karena batas itu kian lama kian permeable, dan "commuting" adalah hal yang jamak menjadi tidak jamak, ketika kemacetan yang ditimbulkannya bikin orang2 stress '.

Studi Banding

Saut: '... mengacu dari definisi / konsep yang disebutkan Delik tsb sebagian besar bisa ditemui pada kota2x di Belanda. Terutama bukan kota-kota besarnya.
Tp definisi intensif yang disebutkan sempat membuat saya berpikir dalam konteks kepadatan pemanfaatan ruangnya. Di Belanda, sekalipun padat (banyak apartement sehingga dengan lahan yg sedikit banyak yg bs ditampung. Selain itu sistem zoning di dalam kotanya jelas. Hasilnya ruang terbuka, taman, jalur2x hijau, pedestrian tersedia dengan luas dan nyaman.
Sedikit berbagi tentang kondisi di Jepang, walaupun lahannya lebih luas daripada Belanda (kira-kira seluas Sumatera), ruang terbuka tidak tersedia begitu banyak seperti di Belanda. Alasannya karena sebagian besar topografi di Jepang adalah pegunungan / perbukitan. Karena itu di kota, pemanfaatannya begitu intensif. Selain itu pola perumahan di sini (Osaka dan Kyoto) masih sebagian besar penduduk tinggal di rumah - satu atau dua lantai. Mungkin itu terkait dengan kebiasaan masyarakat yang tinggal dalam satu family, jadi lebih memilih rumah dibanding apartment. Tp daerah perbukitan / pegunungan di"bebaskan" dari pemanfaatan. Tidak seperti di daerah Bopunjur, banyak villa ditemukan di "slope" yg terjal, di Jepang daerah perbukitannya hijau dan menjadi konservasi, atau paling tidak hanya menjadi tempat di mana kuil2x Budha / Shinto berada.
Tambahan lain, ruang terbuka yang tersedia juga, banyak ditemukan di sepanjang sungai.
Alasan lainnya mungkin kenapa tidak banyak ruang terbuka yang luas jg karena sistem kota di sini tidak seperti di Eropa, dimana terdapat satu areal yg luas yg didedikasikan sebagai "centrum / zentrum".
Dari segi transportasi sendiri, didominasi dengan penggunaan subway (train / metro), sehingga walaupun padat, tidak menjadi masalah utk mobilitas. Jarak 30' yang disebutkan utk naik sepeda seperti di Belanda bs ditempuh dari luar kota ke dalam kota. Seperti saya saat ini tinggal di kota Uji (bukan Kyoto), tp ke Kyoto, sekitar 45' bisa...'.

Delik: '... Ga cuma di Jepang, di Eropa juga kok (termasuk Belanda). Bahwa jarak perjalanan 30 mnt pd th 1900 beda dgn sekarang. Di belanda jg sama di daerah konurbasi-nya (Amsterdam-rotterdam-den haag) transport utama bukan lg sepeda, tetapi subway. Jadi perkembangan inovasi/teknologi di bidang transport (& komunikasi) memang telah menjadi salah satu kunci kritik thd konsep compact city. Bahwa efisiensi tdk hanya bs dilihat dr jarak fisik, sekarang elemen waktu lbh penting drpd sekedar jrk fisik, dst.

Niken: '... buku teks untuk Compact City di negara berkembang yang cukup populer dan standar adalah Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing Countries (Mike Jenks & Rod Burgess, 2000). Isinya adalah kompilasi tulisan2 tentang penerapan Compact City di kota-kota besar di negara berkembang...'.

Compact city, compact development, atau growth management/smart growth?

Adiwan: '... kalau tidak salah, compact city itu konsep kota yang semuanya dalam areal yang sama, mungkin contohnya Suntec city di Singapur(apartment, kantor, shopping dalam satu tempat yang sama) atau Mall Taman Anggrek atau mungkin juga kota benteng seperti yang delik katakan.
sedangkan perkotaan di Jepang atau eropa apakah bisa dibilang compact city? bukankah kota memang spt itu, antara kota satelit dgn kota utama memang 1/2 jam-2 jam karena untuk kommuting. contohnya tanggerang-jakarta 1 jam, kabupaten bandung-kota bandung 1/2 jam, croydon-melbourne 1,5 jam. katanya New Jersey-New York juga segitu...'.

Saut: '... Artinya dalam satu tempat yang sama (bangunan), terdapat multifungsi dimana kegiatannya saling terkait, misalnya pusat belanja, kantor, apartemen, (pendidikan?), hiburan, dll.
Nah apakah ini "modern compact city"?
Tadi tanggapan saya tentang kota-kota di Jepang sebagai contoh, adalah bila kategori yang dinilai adalah "kepadatan". Mengenai Belanda, karakteristik kota2x di sana sebagian besar seperti yang disebutkan Delik. Karena itu hampir semua orang memiliki sepeda, karena sepeda adalah moda transportasi yang dipakai utk ke kantor, belanja, jalan2x. Jadi bisa dibayangkan berapa besar kotanya jika dalam waktu 30' bs ditempuh dengan sepeda bukan. Tp di Rotterdam dan Amsterdam dimana kotanya besar / metropolitan biasanya menggunakan bus / tram / metro. Jadi kalaupun sepeda digunakan di kedua kota besar di atas, biasanya sepeda portable (dilipat dan dibawa2x)'.

Delik: 'Meski filosofinya (efisiensi dst) mungkin mirip, compact city berbeda makna dengan compact development (yg dicontohkan Adiwan). Setidaknya mungkin berbeda pd level keruangannya. Kalo compact devt cenderung pd skala area/zone dlm kota, kalo compact city pd skala kota scr keseluruhan. Sementara isu2 yg kawan2 sebutkan (transport dsb) berkonsekuensi konsep perkotaan pd skala lbh tinggi, yaitu wilayah/metropolitan, dan memang yg terakhir ini sy pikir sekarang lg hangat kyknya'.

Bobby: 'compact city itu ada perlu nya juga walaupun batas semakin tidak nyata karena perkembangan 3T (transportation, telecommunication and technology). tapi dengan adanya "doktrin" sustainable development, bentuk kota itu diharapkan tidak mubazir membangun ruang hanya untuk jalan, tempat parkir, dll. mixed land-use , high-rise development dianggap sebagai salah satu solusi. saya pernah mendengar Portland, OR banyak dijadikan contoh negara2 maju. tapi ya konsekuensi logisnya: harga tanah/rumah itu jadi mahal.
atau mungkin yang saya bayangkan ini bukan compact city? atau mungkin SMART GROWTH?'

Delik: 'Iya, di US "doktrin" yg dimaksud Bobby tsb akhir2 ini terkenal dgn panggilan "new urbanism".
Smart Growth itu salah satu bentuk Growth Management, dari US jg. Selain Portland, yg biasa jd contoh kalo ga salah Seattle. Mungkin maksudnya sama2 aja, cm kalo compact city khas-nya Eropa. Beberapa perbedaan diantaranya compact city berdimensi kuatnya long-term (cenderung top down) planning, kalo smart growth lbh ke urban management pd level lokal dan regional (jg kadang state). utk yg terakhir, sy inget bukunya Cullingworth (Planning in the USA)'.

Editor: Delik

Wednesday, 26 March 2008

Akino: Environmental Science and Tech

Nama saya Akino M. Tahir atau dipanggil Akino/Qnoi. Saya alumni PL '99 ITB (S1). Sekarang aktivitas saya adalah sebagai student, tanpa afiliasi (tidak terikat institusi apapun di Indonesia). Minat saya terkait dengan environmental planning, community planning, youth and development. Motivasi bergabung dengan milis: biar gak ketinggalan jaman dongg.. :D.

Setelah mengikuti program riset student 2006-2007 di Tokyo Institute of Technology (TIT/Tokyo Tech), Jepang, saya langsung melanjutkan ke program master di universitas yang sama, jurusan Environmental Science and Technology, Interdisciplinary Graduate School of Science and Engineering, tepatnya di Harashina Lab. Riset saya tentang potensi dampak kegiatan emergency response pada environment (environment, social, health).. sedang dalam taraf memfokuskan riset... Program ini sifatnya interdisciplinary, jadi banyak tambahan wawasan dari bidang2 ilmu lainnya, dan bisa ngeliat keterkaitan satu bidang ilmu dengan bidang lainnya.. untuk universitas, skarang udah ada program percepatan untuk master dan doktor yang selesai dalam waktu 4 tahun, selain itu juga S3 di tokodai udah gratis. Tapi, kalo gak ngerti bahasa jepang, gak guna juga sih.. hehehe.. soalna semuanya dalam bahasa jepang... tapi skarang udah ada program untuk international student jadi yang gak bisa bahasa jepang bisa ngambil program ini.

Sekolah di jepang menurut saya lebih tidak banyak tuntutannya dibandingkan di negara lain, bahkan dibandingkan indonesia, disini harus pinter2 men-challenge diri sendiri supaya bisa dapet ilmunya, karna terus terang, *mungkin juga karna lab saya gak internasional jadi ada kendala bahasa*, di jepang kita gak ditantang untuk berpikir kritis.. untuk beasiswa dan biaya hidup, saya bisa bilang bahwa kalo udah datang ke jepang, nyari beasiswa itu gak sulit, asal kita usaha. kalopun gak dapet beasiswa, dengan part-time job (yang maksimal 28 jam seminggu), kita udah bisa bertahan dan membayar biaya sekolah sendiri.. :)..

Informasi tambahan :
Gender : F (kali aja blum tau)

Monday, 24 March 2008

Iche: disaster management

Risye Dwiyani, atau dikenal dengan panggilan Iche (plus kadang2 dikasih orang embel2 Juice, jadi es jus, atau Trisnawati, hehe), adalah alumni Plano ITB (S1) angkatan 1999. Dahulu, ketika TA, Iche mengerjakan sesuatu yang ternyata kurang dijiwainya.. hehe yaitu transport. Setelah mendapat inspirasi dari pengalaman sesudah iche lulus tahun 2004 dari ITB (dan sebelum Tsunami 2004), Iche memutuskan untuk berkelana di bidang Disaster Management. Terbanglah Iche ke dunia serba mini, Jepang, karena saat saya dapat inspirasi pertama kalinya untuk menggeluti bidang itu juga, dapatnya dari Jepang, dari Disaster Prevention Center untuk masyarakat setempat belajar ttg disaster dan responnya dengan ruang2 simulasinya, yang ada hampir di semua kota besar. Apalagi setelah Tsunami 2004, Iche tambah semangat untuk menimba ilmu dan pengalaman di bidang disaster management.
Iche memulai program S2-nya, di Jurusan Urban Management, Kyoto University bulan April 2006, setelah menjadi research student selama setahun (most of the time belajar bahasa jepang). Tergabung di Research Center for Disaster Reduction Systems dibawah supervisi Prof. Norio Okada. Lab ini banyak terkait dengan unsur sosial dan ekonominya, seperti risk communication, community resilience, social network, risk finance, dan pemodelan ekonomi. Iche sendiri saat ini belajar mengenai risk communication, tepatnya disaster education for children. Banyak menggunakan statistik, mungkin akan menggunakan qualitative research juga, dan kadang2 menyentuh bidang applied psychology (masih belajar sekarang). Dari dulu ingin belajar GIS tapi belum kesampean, hehe, bidangnya sekarang benar-benar tidak spasial (walaupun bisa dibuat spasial). Mungkin Iche harus belajar dengan teman2 yang ada di Belanda sana.
Sesuai dengan minatnya, diluar kegiatan akademik, Iche juga tergabung di KIDS circle, kumpulan mahasiswa dan staf Kyoto University yang tertarik untuk berbagi pengetahuan tentang disaster mechanism dan response ke anak-anak, di Jepang dan Indonesia.
Terima kasih untuk Tim Moderator PL ITB Abroad ini, semoga dengan ini kita bisa menjalin silaturahmi dan menambah wawasan plus semangat untuk mengabdi ke masyarakat. Nanti saya update lagi yaa...

Monday, 17 March 2008

Datuk: Policy Modelling, Development Planning

Datuk Ary Adriansyah Samsura, atau dipanggil Ary/Datuk, adalah alumni PL ITB angkatan 1998. Aktivitas/ pekerjaan sekarang katanya sih "masih belajar euy". Minat Datuk meliputi transportation infrastructure investment, land development, policy analysis, game theory, institutional economics (yang dua terakhir tentunya dalam kaitannya dengan perencanaan wilayah dan kota).

Datuk pernah mengikuti program S2 di Delft, Belanda, tepatnya di Delft University of Technology, Master program of Engineering Policy Analysis (EPA), selama periode 2004 – 2006. Menurut Datuk:
"Sebenarnya program studi ini lebih dekat ke Teknik Manajemen Industri daripada ke dunia per-plano-an. Tapi meski begitu metoda-metoda yang ditawarkan bisa dipake juga di dunia planologi, terutama sebagai pendukung proses pengambilan keputusan. Meski proses pengambilan keputusannya ga spesifik dan ga fokus ke persoalan spatial planning seperti GIS, tapi setidaknya dapat memberikan panduan dalam memodelkan proses berfikir untuk mencapai keputusan yang optimal (jadi semacam decision making modeling gitu lah)".


Sejak 2007 Datuk melanjutkan studi S3 di Nijmegen (baca: Naimekhen – dengan bunyi ‘kh’ halus), Belanda, tepatnya pada Radboud University Nijmegen, Department of Spatial Planning, Governance and Places (GaP), denga research teams: Transportation and Spatial Development dan Land Policy and Location Development. Datuk berharap S3nya kelar pada tahun 2011. Datuk menjelaskan:

"Penelitian saya sebenarnya biasa-biasa ajah. Pada dasarnya riset sayah berkutat di persoalan proses pengambilan keputusan dalam ranah publik. Jadi semacam collective decision making gitu deh. Kacamata analysisnya pake Game Theory dalam frame Institution Economics; kasusnya tentang pendanaan untuk pembangunan infratruktur transportasi; sementara issuenya terkait dengan peningkatan harga lahan dan bangunan sebagai akibat pembangunan infrastruktur publik yang dalam kasus saya tentunya berupa infrastruktur transportasi, dan lebih spesifik lagi, stasiun kereta api".

Saturday, 15 March 2008

Bobby: GIS Developer

My name is M. Reinur Pohan (Bobby). I received my master's degree from University of Calilfornia, Berkeley in City and Regional Planning (MCP) in 2002. I went straight after graduating from PL-ITB in 1999. I have been working for a company called Michael Baker Jr, Inc. since 2006. This is my third job so far in the US. I work as a Software Systems Developer II / GIS Developer.

Saut: Disaster Management

Nama saya Saut, alumni PL'96 ITB, sama dengan Atar yang sudah gabung sebelumnya di milist ini. sekarang posisi S3 di Kyoto sedang belajar tentang manajemen bencana alam.

sukses selalu dan salam hangat!

Niken: Urban Environmental Management

Niken Prilandita atau dipanggil Niken adalah alumni S1 PL ITB, angkatan masuknya 2001. Niken memiliki minat pada perencanaan kota, perancangan kota, dan manajemen lahan. Sejak tahun 2007, Niken melanjutkan studinya di Asian Institute of Technology (AIT), Thailand, tepatnya program MSc. Urban Environmental Management. Prodi ini merupakan gabungan antara ilmu ‘Urban Planning’ dan ‘Environmental Management’. Intinya adalah manajemen perkotaan dengan fokus untuk menanggulangi isu-isu lingkungan demi terciptanya pembangunan kota yang berkelanjutan (halah...). Materi kuliah sangat praktis dan project-based. Sedikit belajar teori, lebih banyak kepada konseptual dan kemungkinan penerapannya, serta contoh-contoh keberhasilan dan kegagalan penerapan konsep tersebut di negara-negara berkembang. Kelebihan prodi ini adalah:

  • Sebagian besar mahasiswa Prodi ini mendapat beasiswa penuh (SPP+biaya hidup+tiket pesawat)
  • Khusus program Master, proses seleksi tanpa melalui wawancara, hanya aplikasi saja.
  • Cuaca dan budaya setempat mirip dengan Indonesia.
  • Tidak perlu khawatir tentang kemampuan bahasa Inggris, karena nyaris semua mahasiswa dan dosennya bukan native speaker, jadi kalau salah2 dikit masih dimaklum…
  • Tersedia kesempatan magang/internship.
  • Biaya hidup sehari-hari murah (sama dengan di Bandung).
  • Bisa pulang setiap libur semesteran karena ada penerbangan murah AirAsia.

Adapun kekurangan :

  • Jatah beasiswa untuk mahasiswa Indonesia di Prodi ini dibatasi hanya l.k. 3 orang per tahunnya.
  • Kendala komunikasi dengan penduduk lokal.

Pesan/saran untuk peminat: Kalau memang tertarik silakan daftar.

Thursday, 13 March 2008

Putri '01: urban environmental management

Nama saya Suryaputrianita Satyanugraha atau sering dipanggil dengan nama Putri atau Puw. Saya adalah lulusan S1 PL ITB, angkatan 2001 (tahun masuk). Sekarang saya adalah master student di Asian Institue of Technology (AIT) di Pathumthani (kalau dari Bangkok hanya memerlukan ongkos 30 baht saja, atau kurang lebih 10 ribu rupiah), Thailand. Disini saya mengambil jurusan Urban Environmnetal Management (UEM), School of Environment, Resources, and Development (SERD).

UEM itu sebenernya plano banget. Mungkin lebih ke pengembangan dari Plano itu sendiri. Karena katanya sekarang ada perubahan paradigma dari hanya planning menjadi managing. Dari namanya terlihat bahwa di jurusan ini ditekankan aspek urban environmental-nya. Kadang sering berasa jurusan ini gabungan dari PL dan TL, tapi tidak perlu khawatir, karena aspek lingkungannya sebatas pada level planning dan managing itu sendiri. Istilah-istilah seperti Solid Waste Management, Wastewater Management, dan teman-temannya mungkin bisa dibilang makanan sehari2 disini.

Kalau dilihat dari pilihan mata kuliah yang ditawarkan, sebenarnya lingkup UEM sendiri cukup luas. Buat yang tertarik teknikal, ada. Buat yang tertarik planning, ada. Buat yang tertarik economic development, ada. Bahkan buat yang tertarik ke good governance issues sampai ke conflict resolution pun ada. Segala aya lah ya. Jadi tinggal kembali ke minat masing2 studentnya. Intinya mah bagaimana me-manage sebuah kota untuk mencapai sustainable development, gitu tah.

Disini kita lebih memperdalam hal-hal yang praktikal. Lalu menurut saya sih, buat kita yang punya background plano bakal tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran yang ada. Malahan ada beberapa kuliah yang agak2 mengulang, seperti misalnya teori-teori perencanaan, atau perencanaan infrastruktur (sounds familiar kan?).

Buat kesempatan internship sendiri, di AIT banyak tawaran, tergantung kita bisa berkompetisi dengan yang lain ato tidak. Lalu gosipnya pihak CIDA (support donor kita) bakal meng-arrange internship dengan lembaga2 teman mereka. Kan lumayan tuh, bisa dipakai buat nambah pengalaman dan juga ngisi CV, buat masa dengan yang lebih baik.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa inggris. Jadi gak usah khawatir mengenai belajar bahasa cacing yang mirip honocoroko itu. Selain itu sistem di AIT itu bisa dibilang lebih flexibel. Kenapa? Karena dari 10 mata kuliah yang harus kita ambil (28 sks, karena 22 sks sisanya adalah thesis) hanya ada 4 mata kuliah wajib. Jadi kalau emang kita tertarik ke mata kuliah di jurusan lain, jurusan mana aja, bisa diambil. Bahkan ambil course ke manajemen pun gak masalah. seru kan?

Oh iya, disini kita bukan minoritas. Maksudnya, pelajar yang belajar disini memang dating dari berbagai macam Negara. Bahkan orang Indonesia yang terdaftar sebagai pelajar pada semester ini terhitung lebih dari 70 orang. Jadi memang banyak temannya. Belum lagi kalau ada acara ngumpul2 di kbri. Bakal banyak banget mahasiswa yang datang. Lumayan buat yang masih mencari jodoh.

On site student accommodation mungkin bisa menjadi nilai plus. Disini memang disediakan fasilitas dormitory yang tersedia dalam berbagai pilihan kelengkapan. Dan yang paling penting, biaya hidup di kampus gak terlalu jauh beda sama di bandung. Jadi kalo bisa pinter2 me-manage uang bulanan, lumayan lah bisa nabung2.

Kekurangannya apa yah, bingung. Perasaan mah tidak ada. Hihihi. Paling karena para pengajarnya juga megang berbagai macam proyek (terutama yang berhubungan dengan CIDA), jadi kadang kalau lagi musimnya suka sering tidak ada kuliah dan berakibat menumpuknya make-up class. Tapi secara keseluruhan tidak ada kekurangan yang amat menonjol.

Karena jurusan ini didukung oleh CIDA (paling tidak sampai 2010), jadi tersedia scholarship. Waktu Agustus 2007 ada 3 orang Indonesia yang diterima dengan full scholarship hanya untuk jurusan ini. Tapi sayang yang satunya mengundurkan diri. Untuk ngelamar beasiswanya pun tidak rumit dan syarat nya juga tidak terlalu sulit untuk dipenuhi. Jadi pantas utuk dicoba :D

Wednesday, 12 March 2008

Kiki '00: rural and economic development

Nama lengkapnya Sri Rezeki Maretini tapi panggilannya Kiki. Kiki itu alumni PL ITB, masuknya thn 2000. Dulu terkenal dengan keahlian di bidang statistik utk perencanaan, tapi sekarang Kiki juga mendalami pariwisata dan pengembangan perdesaan. Sekarang Kiki memasuki Semester 2 Master of Nutrition and Rural Development (Program kekhususan Rural Economics and Management), Bio-Science Engineering, Ghent University, Belgia. Isi kuliahnya seputar Rural Economics and Management. Kata Kiki:

'Buat yang tertarik dengan rural economics and development, kuliah disini kena banget..Selain itu kalau benar2 tertarik ingin berkarir di bidang ini, kesempatan sangat terbuka lebar untuk bekerja di organisasi2 internasional atau bawa pulang ilmu untuk pengembangan economic policy ke Indonesia. Di semester dua ada mata kuliah Seminar, bagus untuk pengembangan jaringan'.

Kiki lanjut, kekurangan program ini 'karena program ini terhitung baru, jarang ada beasiswa..Sementara ini di angkatan saya hanya ada 9 students'. Bagi anda yang berminat, Kiki berpesan: 'coba cari beasiswa langsung ke Universitas Gent atau Nestle, kebetulan Koordinator program studi saya juga sangat aktif dan insyaAllah kalau kontak dia, dia bisa bantu carikan beasiswa untuk kita'.

Wednesday, 5 March 2008

Delik: urban and metropolitan planning

Delik Hudalah atau panggil saja Delik adalah alumni PL ITB angkatan masuk 2000. Minat Delik terkait perencanaan kota, perumahan, kelembagaan perencanaan, teori perencanaan, dll.

Delik sempat mengikuti program MSc. Environmental and Infrastructure Planning (EIP), University of Groningen, NL pada periode 2005-2006. Program S2 12 bulan ini memiliki fokus pada perencanaan wilayah dan kota dengan konsentrasi pengembangan infrastruktur dan perlindungan lingkungan. Substansi kuliah diarahkan pada peningkatan kompetensi dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan. Kelebihan program terletak pada implikasi pemahaman teoretis, berguna terutama bagi mereka yg akan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, mengenali isu2 mutakhir dalam perencanaan (mis. global change, water management, etc.), dan belajar praktek perencanaan dari pengalaman negara2 maju, khususnya Eropa dan Belanda yang terkenal dengan sebutan ' planners' paradise'. Kekurangannya adalah bobot pemahaman teoretis/konsepsual yang cukup besar, beban kuliah lumayan padat (krn desain program 1 thn), sedikit ilmu2 teknisnya seperti GIS, kurangnya konteks negara berkembang. Jika anda tertarik belajar hal2 teknis jangan deh ambil program ini. Namun, jika tertarik memahami proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, khususnya terkait isu2 terkini dalam infrastruktur dan lingkungan, mungkin ini salah satu alternatif yang cocok.

Sejak awal 2007 Delik mengikuti program S3 pada universitas yang sama. Penelitiannya terfokus pada kompleksitas transisi desa-kota dan implikasinya terhadap perencanaan. Sebagian ide dan karyanya ditunjukkan pada blog urban and regional studies.